Homoseksualitas: Kawin Sejenis atau Ganti Kelamin?
Mamoto Gultom, konsultan lembaga PBB untuk UNAIDS, yang juga seorang gay, beranggapan bahwa secara kualitatif itulah pandangan hampir semua orang Indonesia. Boleh dikatakan hampir 100 persen mayarakat kita homophobia.” Lelaki gay itu menambahkan pula, “homophobia ini juga dialami pemerintah. Buktinya banyak kebijakan yang membuat masyarakat tidak bisa mengenal seksualitas secara benar.
Pandangan itu disampaikannya menjelang diskusi publik tentang Hari Internasional Melawan Homophobia di Wahid Institute, Jalan Taman Amir Hamzah, Matraman, Jakarta, Selasa (29/5/2007) .
Menurut Prof.Dr.Dadang Hawari, sebagaimana dikutip oleh sebuah situs, prilaku homoseksual ini tidak hanya diakibatkan oleh faktor natural semata seperti kelebihan hormon, namun juga merupakan problema psikologis (kejiwaan), sebagai akibat dari interaksi dan komunikasi bebas serta hilangnya pembatas moral antar lawan jenis. Menurutnya, prilaku homoseksual diakibatkan oleh salah satu dariu dua kemungkinan, pertama karena trauma masa lalu, misalnya ia pernah jadi korban (maaf) sodomi sehingga ia ingin membalas dendam kepada orang lain atas apa yang terjadi padanya. Karena itulah, ia sering dipandang sebagai 'penyakit menular'. Kedua, pengaruh budaya dan komunikasi yang bebas. Fenomena ini lebih sering terjadi di kalangan selebritis. Misalnya, para artis, pada saat ada even peragaan, shooting film dan teater, harus berganti busana dalam waktu yang singkat karena kejar waktu, meski harus 'telanjang' dihadapan lawan jenisnya. Intensitas kontak indra yang tak nya sering, mereka menjadi bosan dengan pemandangan ini dan mencari 'sensasi' baru dengan melepaskan kecenderungan biologisnya kepada sesama jenis yang mengalami hal serupa.
Homoseksualitas juga bisa timbul akibat pola pergaulan yang bebas dalam keluarga antara anak laki dan perempuan dalam kamar maupun dalam berbusana, juga perlakuan orang tua yang salah terhadap anak, misalnya ayah yang menginginkan anak laki namun memperlakukan dan mendidik anak perempuan sepertri anak laki.
Selain faktor keluarga, media yang hanya berorientasi pada laba dan mengabaikan norma agama dan moral, cenderung menjadi salah satu biang kegenitan kaum pria, mulai dari bumbu-bumbu lawakan yang menonjolkan banci sampai penayangan kontes Miss Waria seraya menyelipkan pesan bahwa homoseksualitas sebagai fakta yang harus diterima sebagai bagian dari penghargaan terhadap HAM.
Kecenderungan seksual sejenis terjadi pada masa nabi Luth a.s di kota Sodum (asal muasal dari kata sodomi). Kaum Luth lebih menyukai hubungan seksual sesama jenis. Saking bejatnya ketika Allah swt mengutus kepada mereka seorang Rasul yang bermaksud memperbaiki kondisi rusak ini seperti nabi Luth dianggap sebagai orang yang sok suci dan mereka menantangnya untuk mendatangkan adzab dari sang Maha Pencipta. Kemudian Allah Swt menurunkan azabnya berupa goncangan bumi dan hujan batu-batuan. Akhirnya mereka semuanya mati kecuali pengikut setia ajaran nabi Luth. Fakta penyimpangan seperti ini belum pernah ada sepanjang jaman sebelum masa nabi Luth, sebagaimana yang tersurat dalam Al-Qur'an : "Dan Luth ketika ia berkata kepada kaumnya sungguh kalian benar-benar telah mendatangkan kekejian yang tidak ada serbelum kalian satu kaum pun yang melakukannya di alam ini" (al-Qashash :28).
Lalu apakah tidak ada solusi bagi orang-orang yang memang memiliki kecenderungan seskual demikian? Agama Islam, sebagai ajaran Tuhan yang abadi, pasti memberikan solusi yang rasional dan tidak mengabaikan hak-hak setiap manusia. Karena itu, sebelum memberikan solusi hukum syariat, perlu dilakukan pemilahan terhadap ragam prilaku homoseksual baik yang berjenis kelamin pria maupun wanita. Hendaknya, dibedakan homoseksualitas akibat gaya hidup sebagai bagian dari modernitas yang jauh dari aroma moral dan agama, dan homoseksualitas akibat problema psikologis, seperti trauma dan lainnya. Homoseksualitas yang timbul karena gaya hidup perlu ditertibkan karena itu akan merusak tatanan sosial yang berdiri berdasarkan tujuan reproduksi. Sedangkan homoseksualitas karena trauma dan problema-problema psikologis mesti ditangani dengan terapi dan pembinaan yang telaten.
Bila dirasa sudah sangat akut, maka mungkin diperlukan sebuah kajian hukum agama yang bisa memberikan solusi realistik. Menurut pemerhati agama dan sosial yang menjadfi pembicara dalam diskusi publik tentang Hari Internasional Melawan Homophobia di Wahid Institute , Soffa Ihsan, "Secara eksplisit dalam Islam memang tidak kita temukan teks hukum Islam yang mengarah pada pembolehan antarhomo. Namun bukan berarti juga penggalian hukum perlu dihentikan". Mungkin yang dimaksudkannya ialah ganti kelamin sebagai upaya menghindarkan hubungan seksual sesama jenis, karena hubungan sejenis yang jelas-jelas dilarang oleh Islam. Karenanya, ganti kelamin tidak bisa serta merta dianggap sebagai upaya melegalkan perkawinan sejenis. Dengan kata lain, sebaiknya kalangan yang memperjuangkan hak kawin sejenis mempelajari dasar-dasar hukum agama tentang ganti kelamin, ketimbang mencari-cari hukum tentang diperbolehkannya kawin sejenis.