Pada hari sabtu 3 Mei 2003, sesuai surat keputusan rapat reguler no 247 dan rapat kedua anggota Dewan Kota Tehran periode II, yang beranggotakan: Hassan Bayadi, Mehdi Chamran (ketua) Khosrow Daneshjou), Habib Kashani, Rasoul Khadem, Manzar Khayyer Habibollahi, Mahmoud Khosravi Vafa, Mahnoush Motamedi Azar, Hamzeh Shakib, Nader Shariatmadari, Abbas Sheibani , Nasrin Soltankhah, Amirreza Vaezi Ashtiani, Masoud Zaribafan, Hossein Ziari secara aklamasi memilih seorang pemuda dari strata sosial rendah.
Tak seorangpun menduga bahwa pemuda mantan prajurit sukarela perang (basij) itu suatu saat akan menjadi presiden paling terkenal di dunia seperti saat ini.
Naiknya lelaki non mulla ini ke panggung politik negeri Mulla dan kemenangannya yang dramatis atas dua kandidat Mulla yang memiliki jam terbang dalam kancah politik, Hashemi Rafsanjani dan Mehdi Karrubi, menandai sebuah babak baru dalam konstelasi politik lokal, regional dan internasional.
Namanya tiba-tiba mendunia karena ia mengganti sikap politik luar negeri Khatami, pendahulunya, yang lunak dan dengan sikap politik yang tegas, terutama seputar isu pengayaan uranium (nuklir) dan eksistensi Isarel.
Pernyataan-pernyataannya yang sangat berani menjadi ‘berkah’ bagi media masa internasional, mulai dari usulan pembentukan Israel di Eropa sampai Piala Dunia di Jerman. Kedatangan lelaki ramah berpenampilan sangat sederhana (bahkan mendekati kesan ‘lusuh’) ini ke Indonesia dalam rangka kunjungan bilateral dan kehadiran dalam KTT D8 ini mendapat peliputan dari seluruh media masa dalam skala yang luar biasa.
Suka atau tidak, doktor dalam bidang transporatsi ini telah ditahbiskan sebagai ikon dan simbol perlawanan terhadap arogansi Barat dan kapitalisme. “Pembuat Berita” ini telah menjadi bintang di istana negara, di UI dan UIN Syarif Hidayatullah, karena pernyataan-pernyataan tegas yang dikeluarkan dengan mimik yang santai dan penuh percaya diri, telah menyihir para mahasiswa dan membuat para mahsiswi histeris. “Be our president”, “Iran on our Heart”, dan semacamnya adalah ungkapan-ungkapan yang membisingkan upacara penyambutan Sang Mardomyar.
Meski menguasai bahasa Inggris (dan tidak bisa berbahasa Arab karena memang bukan Mulla), ia lebih mengutamakan bahasa ibunya, Parsi saat meberikan orasi ilmiah dalam stadium general. “Bila nuklir buruk, mengapa orang lain diperbolehkan menggunakannya? Bila nuklir baik, mengapa orang lain tidak diperbolehkan menggunakannya?” adalah contoh serangkaian proposisi sederhana yang sangat logis yang selalu memancing tepuk tangan riuh. Di balik tubuhnya yang mungil (di bawah standar rata-rata postur lelaki Iran pada umumnya), dan wajahnya yang bernuasa ‘buruh’ (udik) itu, terpampang struktur penalaran yang minimalis dan sederhana. “Aku adalah bukti sebuah demokrasi,” ujarnya menyindir demokrasi Amerika yang hanya mempunyai dua kandidat dari dua partai.
Ia telah menjadi model ‘pemimpin alternatif’ di era ketika hampir seluruh negara di dunia menjadi negara bagian Amerika. Sosoknya yang sangat populis yang berpadu dengan relijiusitas yang tergambar di guratan dahinya telah memenuhi rasa kangen generasi muda di dunia Islam akan seorang yang benar-benar ‘pelayan’. “Amerika bagaikan air mancur yang pasti jatuh,” katanya disambut tepuk tangan di hadapan para ulama dan politisi Indonesia di PB NU beberapa waktu lalu. Dialah MAN (Mahmoud Ahmadi Nejad).
Pada periode kedua, MAN menjadi capres untuk periode kedua tanpa tim sukses dalam sebuah pemilu dengan jumlah partisipasi terbesar sepanjang sejarah Iran pasca Revolusi. MAN secara dramatis memperoleh 62 persen suara (24 juta suara) dari total suara pemilih. MAN mengalahkan tiga kandidat yang merupakan tokoh-tokoh penting pada masa-masa awal Revolusi, Karrubi (mantan Ketua Parlemen), Mir Hosein Mosavi (mantan Perdana Menteri) dan Mohsen Rezai (mantan Panglima Garda Revolusi).
Ironis! Mereka, yang umumnya tampan dan cantik memilih orang bertampang “ndeso” sebagai presiden karena ketulusan, kesederhanaan, nasionalisme dan keberanian, bukan karena tubuhnya gagah dan tampan.
Dua organisasi perlawanan Palestina yaitu Hamas dan Jihad Islam dan Ikhwanul-Muslimin di Mesir telah mengucapkan selamat atas terpilihnya Ahmadinejad sebagai presiden dalam periode kedua seraya berharap Iran terus memperjuangkan hak rakyat Palestina dalam menghadapi Zionisme dan Imperialisme.
Kemenangan Ahmadinejad yang dianggap kanan, mungkin bisa dianggap sebagai balasan atas kemeangan Netanhayu dan Liberman yang secara terbuka menganut garis kanan keras). Rakyat Iran meninggalkan bangsa Arab di belakang untuk sendirian menghadapi Israel dan Amerika.
Hanya Rezai yang legawa dan menghimbau para pendukungnya untuk menerima hasil pilpres seraya menganggap kemenangan MAN sebagai pilihan rakyat Iran semua.