HUKUM RIIMBA VS HUKUM NEGARA
Sejumlah warga Kota Bogor menolak pembangunan Masjid Imam Ahmad bin Hanbal. Mereka menolak karena masjid tersebut diduga beraliran Wahabi.
Dengan alasan menghindari konflik horisontal, Walikota Bogor, Bima Arya, meminta pihak Yayasan Pendidikan Islam Imam Ahmad bin Hanbal tidak melakukan aktivitas pembangunan masjid, meskipun putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) telah berkekuatan hukum tetap atau incracht.
Kasus ini mirip dengan kasus pembangunan Husainiyah ABI di Kabupaten Probolinggo. Bedanya sebagai berikut :
- Pembangunan Husainiyah tersebut baru tahap rencana
- Rencana pembamgunannya semula disetujui oleh warga sekitar.
- Rencana pembangunannya ditentang oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan ormas yang dikenal super toleran dan pejuang kebhinekaan.
- Instansi Pemkab tidak bersikap adil.
Bila pengadilan telah mengizinkan pembangunan masjid, mestinya dipatuhi atau ditolak melalui mekanisme dan prosedur yang telah ditetapkan. Bila ditentang dengan ancaman aksi massa, institusi peradilan tidak dihormati. Itu artinya, hukum hanya berlaku atas sebagian warga. Inilah fakta rutin kemenangan hukum rimba atas hukum negara.
Pemerintah dengan perangkat institusi penegak keamanan dan ketertiban mestinya mengutamakan produk undang-undang dan putusan pengadilan.
Warga yang pancasilais mestinya menerima produk undang-undang dan putusan pengadilan sebagai konsekuensi kepatuhan konstitusional.
Setiap warga negara, apapun keyakinannya dan sesesat apapun keyakinannya di mata sesama warga lainnya punya hak konstitusional yang sama dan rata.
Wahabisme, dan keyakinan apapun mestinya dihadapi dengan dialog yang fair, bukan dengan ancaman aksi massa.
Mendukung persekusi dan aksi massa terhadap sesama warga (yang dianggap menganut paham wahabi atau kelompok kelompok minoritas apapun yang hendak mendirikan masjid atau tempat ibadah, termasuk komunitas Syiah yang hendak mendirikan masjid dan husainiyah, berarti mendukung pelemahan negara.
Jangan keburu gembira dan ikut menyebarkan bila menerima berita tentang sebuah kelompok minoritas dibubarkan atau diserang atau ditolak melakukan aktivitas legal oleh kelompok dengan dalih beraliran wahabi atau lainnya oleh massa yang melakukan aksi itu dengan dalih melawan radikalisme dan toleransi.
Melihat maraknya aksi massa yang kerap mencatut nama kelompok dan ormas bahkan nama "umat Islam" terhadap kelompok lain, kadang teriakan "NKRI Harga mati" dan semacamnya lebih terkesan sebagai jargon politis.
Bersikap konsisten dengan aturan formal negara terhadap kasus penentangan atas pembangunan masjid yang diduga beralihan wahabi tersebut tak berarti menerima pandangan kaku para pengikut wahabisme.