Human Error

Human Error
Photo by Unsplash.com

Beberapa hari lalu saya bertemu dengan seseorang di perpustakaan kantor yang kemudian berlanjut dengan obrolan tentang skenario film yang sedang digarapnya. Karena dunia ini adalah hal baru, maka saya kasih pendapat dan saran. Saya juga jadi tergerak membuat novel Tapi lambat laun arah perbincangan, yang seharusnya mengasyikkan tentang perfilman, menjadi aneh.

Tiba-tiba dia melontarkan kata aneh yang menurut saya tidak berhubungan sama sekali dengan judul novel yang saya ceritakan. “Nah, itu berarti berjumlah 1452,” katanya dengan mata menerawang entah ke mana.

“Apanya yang berjumlah segitu?” tanya saya seperti orang geblek.

Karena mendesak untuk mau tahu, dia minta saya menyediakan ruang rapat dengan papan putih untuk menjelaskannya.

“Silakan ke ruang rapat. Di dalamnya ada whiteboard”.

Dalam ruang rapat itu, dia mulai terlihat lemas dan sempoyongan meski berusaha menulis angka-nagka di balik aksara judul draft novel yang saya ceritakan tadi,

“Maafkan saya,” katanya sambil mendesis.

“Lho, anda kenapa? Maag? Perlu saya ambilkan air minum?” tanya saya kaget.

“Ohh.. tidak, tidak apa-apa. Ini biasa. Saya lagi diserang!!!”

Jawaban ini cukup untuk membuat menyimpulkan bahwa saya ketiban sial.

Setelah bersabar lebih dari setengah jam mendengarkan ocehannya yang ngaco mulai dari makhluk-makhluk mistik, saya katakan, “Mas, saya harus kembali kerja”.

“Aduh, gimana ya? Saya minta diizinkan untuk berlindung di kantor ini karena gedung ini termasuk zona netral (maksudnya, mungkin no fly zone). Di luar sana saya diserang oleh ribuan jin yang hendak menculik Sang Tokoh(mengingatkan saya pada Neo dalam The Matrix),“ selorohnya dengan mata berkedip-kedip dengan kepala rada mendongak.

“Ok, silakan berlindung di pantry saja. Tapi saya tidak bisa berlama-lama di sini meninggalkan kerja,” timpalku seraya meninggalkannya.

Esoknya, staf saya yang lebih dulu mengenalnya menceritakan kronologi di balik kesenewenan temannya itu. Salah satu faktor utama adalah dasar rasional pandangan dunia-nya rapuh, dan ingin meniru Ibnu Arabi dengan cara yang tidak ditempuh Ibnu Arabi. Rupanya perjalanan itu mengalamai kecelakaan akibat human error. Pengemudinya ceroboh.

Karena ingin menyelsaikan masalah-masalah ekonomi dan sosial lainnya dengan jalan pintas, banyak anggota masyarakat awam yangmenjadi korbanpenipuan sekelompok penyihir, tukang sulap dan paranormal yang mengaku bisa mendatangkan mukjizat, karamah atau mampu memperagakan sesuatu yang luar biasa dengan mengusung jargon mistisisme, taswauf, tarikat, hikmahdan sebaginya.

Karena itulah, maka muncul bermacam ritual irasional yang bertentangan dengan hukum-hukum syariat atas nama kasyf, jadzb, khilaf yang dijadikan sebagai syarat bagi pencapaian tingkat tertentu dalam pengalaman mistis dan tasawuf. Boleh jadi, sejumlah prilaku abnormaldi tengah masyarakat awam, dianggap sebagai pertanda kewalian..

Tasawuf hakiki dan ‘misitisismesejati tidak akan pernah menyimpang dari jalan para nabi, wali dan ajaran-ajaran agama samawi. Karenanya, ajaran agama-agama Tuhan, sejarah kehidupan para nabi dan wali haruslah menjadi parameter dan alat ukur bagi ungkapan dan prilaku siapapunseseorang yang mengaku atau diisukan sebagai arif dan sufi sejati. Namun untuk mencermatinya dibutuhkan pengetahuan yang memadai. Karena, setiap orang yang belum membelaki diri dengan pengetahuan yang memadai dan belum bisa mengindentifikasi validitas dan invaliditas sebuah ucapan dan prilaku, bisa diapastikan akan terperangkap dan terperdaya oleh pesona para sufi gadungan itu.

Ada tiga media yang disebut kaum arif untuk membenarkan penyaksian-penyaksian ‘misitisisme i dan bisa membedakan antara ilham-ilham yang datang dari Tuhan dengan bisikan-bisikan syaitaniah. Tiga media tersebut adalah akal, al-Qur’an dan sunnah, atau syariat dan ketiga adalah wali, yaitu wali quthb (sebagai terminologi tasawuf) atau imam (sebagai terminologi ‘misitisisme).

Bila sebuahperistiwa kasyf dikukuhkan oleh tiga media diatas, maka berarti ia adalah kasyf dan penyaksian yang benar dan bersumber dari Yang Benar. Bila tidak, maka ia hanyalah rekayasa atau peristiwa supranatural yang tidak bersumber dari Yang Benar. Semua penyaksian yang bertentangan dengan hukum akal atau hukum syariatadalah pasti batil. Namuntidak berarti peristiwa penyaksian yangrelevan dengan keduanya adalah pasti benar. Mungkin saja ada sebuah penyaksian ( kasyf) yang tidak berlawanan dengan hukum logika dan syariat, tapi ia tidak dinilai benar secara misitisi.

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya." (QS Alahfi: 110) (adilnews)

Read more