IDE, KATA DAN MAKNA
Banyak orang, karena tak memahami perbedaan pikiran dengan makna atau arti, mengira kata mendahului pikiran. Karena itu, bila tak memahami kata yang diungkap, pendengar atau pembaca merujuk ke kamus, Padahal kamus adalah kumpulan kata dengan ragam bentuknya yang disepakati sebagai tanda bagi makna atau artinya, bukan tanda bagi pikiran.
Sebagian yang malas mencaritahu artinya, langsung melewatinya. Sering pembaca mengkritik bahkan mencemooh sebuah tulisan dengan dalih "bahasa tinggi", padahal boleh jadi dia tak mau bersusah payah membekali diri dengan kosa kata yang lebih variatif dan malas mengikuti prosedur berpikir atau logika. Boleh jadi dia enggan beranjak ke "bahasan yang tinggi" (karena setiap tema serius dan pentinf punya kata khas yang jarang digunakan dalam komunikasi harian, bukan karena sengaja dikaburkan) dengan dalih "bahasa tinggi".
Kata adalah penanda pikiran yang diekspresikan oleh pemikir melalui penulisan, pengucapan, dan isyarat dengan berbagai sarana dan cara alami atau konvensional. Relasi antara kata dan pikiran adalah siginifkansi. Pikiran yang telah dikaitkan secara khusus dan tertentu dengan kata disebut makna atau arti.
Pikiran mendahului kata, sedangkan kata mendahului makna yang dibakukan oleh para ahli dan penyusun kata dalam kamus. Makna merupakan hasil persepsi subjek (manusia) terhadap kata yang terbaca dan terdengar yang mencakup interpretasi dalam berbagai konteks alami atau konvensional.
Kata dan makna adalah pasangan yang dikaitkan oleh pikiran. Pikiran membentuk kata. Pemikir mengungkapkan pikiran dalam ucapan yang terdengar atau tulisan yang terbaca. Sedangkan pendengar menangkap kata yang telah ditetapkan sebagai tanda makna. Kadang atau sering pikiran pemikir tak diwakili secara tepat oleh kata yang dipilihnya sehingga tak dipahami atau disalahpahami. Kadang atau kerap pendengar atau pembaca tidak mengenali makna kata yang dipilih oleh pengucap atau penulis sehingga tak memahaminya atau menyalahpahaminya.
Pemikir memerlukan pengetahuan atau info sebagai bahan utama dan memerlukan logika sebagai sistem penyusunan dan validasi. Bila pemikir hendak mengungkap pikirannya, memerlukan bahasa yang menyediakan kata sebagai penanda dan simbol yang sesuai. Pembaca dan pendengar memerlukan pengetahuan sebagai bahan utama dan memerlukan logika sebagai sistem penyusunan dan validasi juga memerlukan bekal kata yang banyak agar bisa menemukan makna yang dituju oleh penulis dan penutur.
Bila pengungkap pikiran (penutur dan penulis) tak punya bekal pengetahuan tentang pikiran yang diungkapnya juga logika dan bahasa, pikirannya tak dipahami atau disalahpahami. Tak dipahami lebih aman daripada disalahpahami.
Bila pendengar dan pembaca tak punya bekal pengetahuan meski sedikit tentang pikiran (tema) yang dicerapnya juga logika dan bahasa, tak memahaminya atau menyalahpahaminya. Tak paham tentu lebih aman ketimbang salah paham.
Karena sebagian orang tak mematuhi prosedur dan aturan penulisan dan penuturan, dan karena sebagian besar pendengar dan pembaca tak mematuhi prosedur dan aturan logika dan bahasa, dan tidak terkoreksi, terutama di era medsos pemahaman yang salah kerap menjadi opini yang dominan.
Kesalahpahaman massal, apalagi direncanakan secara intensif, bisa menggiring masyarakat kepada pandangan, sikap dan tindakan yang ngawur dan zalim meski secara rasional jelas salah.