IDEOLOGI EKSPOS

IDEOLOGI EKSPOS

Seorang pegawai perusahaan BUMN mengejek dan menghina pegawai honorer bukan karena merasa sombong tapi karena merasa perlu membuat konten kontroversial yang bisa mengundang banyak viewer, engagement dan virall.

Perilaku aneh yang menggambarkan pergeseran sistem nilai ini bukanlah suatu fenomena khas tapi mulai dianggap lumrah. Memamerkan kekayaan dan mengekspos kecantikan dan tubuh kini dianggap sesuatu yang wajar bahkan dikagumi. Ketenaran seolah menjadi oksigen yang dicari dengan cara apapun.

Fenomena ini mencerminkan pertarungan antara nilai-nilai tradisional dan modern, serta kegagalan sistem (teknologi, ekonomi, budaya) dalam mengarahkan manusia untuk memprioritaskan empati di atas ketenaran. Solusinya harus holistik, melibatkan individu, komunitas, platform, dan negara.

Budaya Indonesia yang mengedepankan gotong royong, kesopanan, dan penghormatan kepada sesama mulai tergeser oleh nilai individualis yang dipengaruhi globalisasi dan media sosial. Ketenaran, kekayaan, dan penampilan fisik kini dianggap sebagai tolok ukur kesuksesan, menggantikan nilai-nilai seperti integritas, kerendahan hati, atau kontribusi sosial.

Konten yang menghina atau merendahkan orang lain menjadi "lumrah" karena masyarakat cenderung mengonsumsi konten kontroversial sebagai hiburan. Hal ini mencerminkan desensitisasi terhadap etika dan empati, terutama di ruang digital.

Pelaku mungkin termotivasi oleh kebutuhan akan pengakuan (social validation) yang dipicu oleh sistem reward media sosial (likes, shares, komentar). Ketenaran menjadi "oksigen" karena memberi ilusi penerimaan dan status.

Platform media sosial dirancang untuk memprioritaskan konten yang memicu emosi tinggi (marah, terkejut) karena lebih mudah viral. Pelaku memanfaatkan ini untuk mengakali algoritma, meski dengan mengorbankan etika. Tubuh, konflik, dan kehidupan pribadi dijadikan komoditas untuk dijual ke publik. Ini memperkuat mentalitas bahwa "segala cara boleh dilakukan asalkan viral".

Menjadikan orang lain sebagai bahan lelucon atau konten eksploitatif melanggar prinsip penghormatan terhadap martabat manusia. Dalam konteks BUMN (badan usaha milik negara), tindakan ini juga bertentangan dengan nilai-nilai pelayanan publik yang seharusnya dipegang.

Dalam sistem digitalisme ketika di perhatian audiens bisa dikonversi menjadi pendapatan (iklan, endorsemen), konten kontroversial menjadi investasi untuk keuntungan finansial.

Agama pun kehilangan sakralitasnya ketika para konten kreator, entah yang mengerti agama atau tidak, menjadikan agama sebagI komoditas dalam rezim algoritma.

Read more