IMAMAH DAN GRADASINYA

IMAMAH DAN GRADASINYA
Photo by Unsplash.com

Seseorang yang menyatakan siap menjadi bagian dari sebuah institusi, seperti perusahaan atau organisasi, tidak patut mengaku hanya patuh kepada pemilik perusahaan atau direkturnya. Dia harus mematuhi struktur yang membentuk kepatuhan profesionalnya secara vertikal dari atasan paling dekat dengannya.

Kepatuhan personal semata kepada pemimpin perusahan justru menegasi makna substansial kepatuhan, karena implementasi komitmen hanya melalui struktur dan sistem yang disahkan oleh pemilik sebagai pemegang otoritas utama dan diturunkan secara gradual kepada dan pemegang otoritas yang ditunjuk dan direstuinya mulai dari direktur hingga atasan terbawah yang langsung berhadapan dengan karyawan.

Bila setiap karyawan menolak otoritas-otoritas gradual di bawah pemegang otoritas utama dan tertinggi dengan dalih kepatuhannya bersifat eksklusif, maka secara rasional dapat dipastikan dia memposisikan dirinya sebagai pemegang otoritas kedua di bawah pemegang otoritas utama. Ini justru menggugurkan alasan dan dalih kepatuhan yang diklaim.

Sangat mungkin alasan keberatannya adalah anggapan bahwa kriteria pemegang otoritas utama berbeda jauh dari para pemegang otoritas yang berada dalam urutannya.

Sangat mungkin pula legalitas terduga pemegang otoritas terendah diragukan karena beragam alasan. Cara termudah menghilangkan keraguan adalah melakukan verifikasi data dan bukti legalitasnya, bukan menjadikan sebagai diskusi sesama tak terduga memegang otoritas terdekat dengannya.

Mestinya dia memahami kepatuhan dalam dua dimensi; kepatuhan substansial (mutlak dalam urusan agama) dan kepatuhan aksidental (nisbi dalam urusan agama).

Mestinya dia menerima asas gradasi sebagai bagian integral dari klaim komitmen (keyakinan dalam agama). Tentu, kualitas dan kuantitas kepatuhan nengikuti cakupan otoritas dan posisinya.

Jelaslah, kepatuhan tidak bersifat personal semata tapi bersifat struktural. Konsep kepemanduan Nabi sebagai penerima wahyu dan Imam sebagai penjaga wahyu mestinya dipahami demikian agar tidak hanya menjadi wacana diskusi mubazir dan dogma yang utopis.

Read more