IMAMAH DAN KHILAFAH
Memahami diksi dan terma serta pengertian yang tersimpan di baliknya memerlukan ketenangan, kesabaran dan kerendahan hati agar makna yang terungkap adalah makna yang terkandung di baliknya, bukan presumsi yang membayangi mindset stereotipe.
Imamah adalah kewenangan dari Tuhan sebagai tugas mengajarkan agama kepada umat manusia dan menegakkannya sebagai sistem hidup bagi individu dan masyarakat.
Karena agama meliputi aspek individual dan sosial umat manusia, maka kewenangan yang dipegang oleh penerima wahyu dan pengawalnya secara niscaya meliputi semua aspek.
Karena disahkan oleh Tuhan, maka kewenangan ini tidak memerlukan persetujuan manusia sebagai individu maupun masyarakat. Karena itulah ia adalah kewenangan vertikal.
Kewenangan bersyarat kesucian ini tidak niscaya berlaku efektif sebagai kekuasaan secara aktual kecuali bila masyarakat menerima dan bersedia menjadi umatnya.
Ali bin Abi Talib dalam akidah Syiah adalah pemegang kewenangan vertikal yang mutlak setelah Nabi wafat. Namun ia menjadi pemegang kekuasaan aktual (lazim disebut khalifah) ketika masyarakat menerimanya. Dengan kata lain, ia adalah imam pertama atau pemegang kewenangan pertama sekaligus pemegang kekuasaan alias penguasa keermpat.
Menegaskan bahwa Ali bin Abi Talib adalah imam (sebagai pemegang kewenangan vertikal) bagi Syiah dan khalifah (sebagai pemegang kewenangan horisontal atau kekuasaan institusional) bagi Sunni juga Syiah pada periode pasca Utsman merupakan pandangan rekonsiilatif yang bisa meredakan ketegangan sektarian yang kontraproduktif.
Singkatnya, imamah yang diyakini oleh Syiah bukanlah lawan vis a vis bagi khilafah yang diyakini oleh Sunni. Kedua konsep tidak saling mendelegitimasi.