Imlek 2559, dari Ekspresi Budaya ke Politik Pechinan?
Saya membaca sebuah analisis budaya sosial dan politik terkait peran kaum Tionghoa di Indonesia, yang nampaknya ditulis oleh cendekiawan Tionghoa. Sangat bagus dan objektif. Silakan mengklik.
Imlek kini makin identik dengan pemusatan kultur dan penguatan identitas Tionghoa, entah itu terkait dengan agama dan kepercayaan atau sekadar budaya Tionghoa.
Pemusatan kultur dan penguatan identitas Tionghoa pascareformasi mendorong masuknya Tionghoa ke kancah politik nasional. Beberapa waktu lalu sebelum Pilkada DKI Jakarta, misalnya, di kalangan Tionghoa di Jakarta muncul perbincangan seputar calon wakil gubernur dari kalangan Tionghoa. Beberapa nama disebut-sebut, antara lain Teddy Jusuf dan Eddi Kusuma.
Harapan munculnya tokoh Tionghoa untuk menduduki jabatan eksekutif ini juga didukung komunitas Tionghoa yang bermunculan. Sejak reformasi, cara pandang terhadap eksistensi kalangan Tionghoa memang mengalami perubahan radikal. Mulai diliburkannya Hari Imlek, kebebasan merayakan kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa, dihapuskannya SBKRI, pencatatan pernikahan pemeluk Konghucu, sampai munculnya media berbahasa Mandarin.
Ketionghoaan yang dulu identik dengan perjuangan membebaskan dari diskriminasi "nonpri (kependekan dari nonpribumi)" yang ditanamkan oleh rezim Orde Baru, diterima sebagai berkah untuk minoritas ini. Dalam hal ini, Gus Dur dianggap sebagai "Bapak Etnik Tionghoa", entah siapa yang menjadi "Ibu Etnik Tionghoa".
Diskriminasi Baru?
Ketionghoaan dengan segala macam atribut sosial, ekonomi, dan budaya diterima apa adanya tanpa dilihat dengan kacamata berbeda. Liong dan barongsai keluar dari kelenteng, sama seperti kekayaan tradisional kita lainnya. Yang jadi persoalan, bagaimana kiprah Tionghoa di ranah politik.
Apakah dengan terbebasnya stigma diskriminasi dalam lapangan ekonomi, sosial, dan budaya, kalangan Tionghoa juga bebas dari stigma serupa di ranah politik? Atau justru sebaliknya, mengalami komunalisme dengan menciptakan esprit de corpsTionghoa sendiri, yang diposisikan berbeda dengan etnik lain? Partai Tionghoa tampaknya tidak diminati lagi oleh kalangan Tionghoa.
Mereka lebih senang meleburkan diri dengan partai-partai saudaranya yang "pribumi" (penyebutan ini sekadar untuk membedakan dan bukan menguatkan diskriminasi pri-nonpri) daripada menyempal sendiri dengan isu etniknya. Beberapa kalangan Tionghoa seperti Bupati Belitung Timur Basuki Tjahaja Purnama, berkendaraan politik Partai Indonesia Baru, telah memenangkan pilkada, padahal etnik Tionghoa di daerahnya kurang dari sepuluh persen.
Begitu pula Go Tjong Ping yang terkenal lewat kasus kerusuhan Tuban. Meski dia kalah dalam pilkada, dia berkendaraan politik PDIP. Jika kalangan Tionghoa konsisten dengan isu pembebasan diskriminasi etniknya di masa lalu dan ketionghoaan hadir apa adanya sebagai kesetaraan dengan sesamanya dari etnik lain di bangsa ini, mengapa dalam politik harus mengusung calon wakil gubernur, dalam konteks ini DKI Jakarta yang menjadi pusat republik, dengan isu etnik Tionghoa? Bukankah Bang Yos menjadi gubernur bukan semata karena dia Jawa dan warga Jakarta bersuku Jawa merasa berkepentingan.
Apa perlu warga Batak di Jakarta mengusung Simanjuntak atau Sinaga menjadi calon? Apakah hal ini bukan berarti langkah mundur? Bertahun-tahun kalangan Tionghoa ingin dibebaskan oleh diskriminasi hanya karena "kechinaannya", mengapa kini setelah kebebasan itu diperoleh kalangan Tionghoa justru ingin "mendiskriminasikan" diri lagi sebagai semata-mata Tionghoa dalam pencalonan wakil gubernur DKI Jakarta, misalnya? Harus dipahami bahwa Tionghoa berbeda dengan Betawi.
Dalam kasus pencalonan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta, Betawi agak berbeda. Betawi memang "memiliki" wilayah sosial budaya yang kini bernama Jakarta itu. Itu berarti, jika kalangan Betawi menginginkan putra daerahnya menjadi calon gubernur, sah-sah saja. Tionghoa tidak demikian, kalangan ini tidak mempunyai wilayah ruang sosial budaya yang spesifik di wilayah Indonesia, "Provinsi Tionghoa", katakanlah begitu, tidak ada.
Kalangan Tionghoa tersebar dan ada di mana-mana. Pechinan belum cukup dikatakan wilayah sosial budaya karena pechinan hanya sebagian kecil dari ruang sosial budaya Tionghoa yang dilingkupi oleh budaya besarnya, apakah itu Jawa, Sunda, atau Batak contohnya.
Kualitas dan Basis Massa
Jika seorang Tionghoa maju ke dalam kancah pemilihan kepada daerah dengan bekal semata-mata karena dia Tionghoa-meski memiliki kemampuan dan pengalaman- dikhawatirkan faktor pendekatan etnik ini bisa menjadi bumerang.
Jika kepemimpinannya gagal, maka orang akan melihat semata-mata Tionghoa, bahkan "gara-gara Tionghoa", atau meminjam fobia masa lalu dia bisa "dichina-chinakan". Kasus kerusuhan Tuban yang menjadi buntut kekalahan Noor Nahar-Go Tjong Ping saja memunculkan isu diskriminasi seperti isu pengusiran dan balas dendam kepada etnis Tionghoa Tuban (untung tak terjadi), hanya karena Go Tjong Ping. Padahal, Go tidak maju dengan ketionghoaannya, tetapi dengan kiprahnya di PDIP.
Begitu pula dengan Go Swie Tong, Tan Tjwan Siek, Bhe Han Sing di PDIP Tuban, terkecuali Tan Tjoan Hong yang berkiprah di PKB Tuban. Langkah terbaik kalangan Tionghoa ialah membuka diri kepada semua pintu yang bisa dia masuki dalam pemilihan kepala daerah. Maju bukan dengan faktor semata karena dia Tionghoa, tetapi karena kemampuan, pengalaman, dan basis massa yang teruji dalam pergaulan politik lokal yang ada, apakah di tingkat ranting, cabang, atau wilayah. Politik Tionghoa di Indonesia harus dibedakan dengan puak China di Malaysia yang relatif menyamai puak Melayu, sehingga mempunyai keterlibatan politik berdasarkan etnik.
Kwik, Mari Elka Pangestu,dan yang lain mestinya juga tidak perlu dilihat sebagai representasi kalangan Tionghoa. Kenyataan bahwa mereka Tionghoa itu tidak bisa ditolak, tapi keberadaan mereka di sana adalah karena kemampuan-nya dan bukan keetnikannya.
Tionghoa Indonesia harus bisa melepaskan keterlibatan politiknya tidak berdasarkan trauma minoritas, tetapi berdasarkan daya saingnya dengan kandidat lain yang bisa memberikan sumbangsih bagi bangsa ini, bukan semata-mata kebelet, karena belum mendapat giliran. Selamat Imlek. (*) Stevanus Subagijo
Peneliti pada Center for National Urgency Studies, Jakarta