Semalam saat bersiap untuk take off di atas ranjang, ponsel saya berdering. “Salam. Saya dan teman-teman minta waktu sebentar untuk berkunjung dan bicarakan masalah penting.” Dari suaranya saya hapal namanya. Dia yang biasanya santai, malam itu tanpa basa-basi langsung todong saya untuk menerima kedatangannya. “Urusan penting apa ya?” gumamku dalam benak sambil duduk di beranda depan rumah menunggu kemunculannya. Pasti sesuatu yang krusial.
Tak lama kemudian, temanku yang very gaul ini muncul dengan dua tamu. Dari perbincangan segi-empat itu, saya menangkap keinginan mereka—yang kebetulan keturunan Arab versi modern—untuk menjawab tantangan pelontar sinisme yang beberapa waktu lalu sempat ngocol di televisi dalam sebuah diskusi politik.
Saya bisa memahami keinginan itu. Baru-baru ini komunitas Arab di Tanah Air tercinta ini lebih diasosiasikan dengan simbol dan sentra-sentra agama, mulai dari majelis taklim sampai poster-poster habib. Mereka yang datang ke rumahku itu bukan tipe aktivis majelis taklim. Bahkan gaya komunikasi dan penampilannya sangat liberal dan modern.
Jauh hari sebelum kedatangan kawanku itu ke rumah, saya tahu banyak tentang tokoh-tokoh berpendidikan tinggi—yang kebetulan keturunan Arab—pejuang kemerdekaan Republik Indonesia. Sayang, belakangan ini nama besar mereka tertindih figur-figur keagamaan yang sebagian identik dengan aksi kekerasan.
Dalam ranah ke-Indonesia-an, tak perlu kiranya mempertimbangkan etnisitas orang yang berkontribusi untuk kemajuan Indonesia. Bangsa Indonesia bisa merdeka dan berkembang karena peran rakyatnya yang kebetulan terdiri dari berunsur-unsur ras.
Perihal etnis Arab yang lahir dan besar di bumi Nusantara ini, tidak sedikit mereka menempati posisi-posisi lumayan di berbagai perusahaan, sebagaimana etnis yang lain. Mereka lebur dalam berbagai komunitas, bahkan cenderung menyembunyikan ke-Arab-annya dan cair dalam pergaulan keseharian maupun bisnis. Karena itu, sebagian besar tidak lagi mencantumkan nama marga di belakang namanya.
Tak perlu saya buktikan kontribusi keturunan Arab di Indonesia. Sangat banyak dan bahkan lebih dari sekedar banyak. Mereka hendak membuktikan nasionalisme tidak melalui jargon-jargon dan upacara seremonial, namun dalam kiprah. Mereka ingin melanjutkan jejak para tokoh nasional seperti Husin Muthahar pencipta lagu Padamu Negeri, pelukis legendaris Raden Saleh, pahlawan kemerdekaan Dipegonegoro dan AR Baswedan, diplomat ulung Ali Alatas dan lainnya.
Selama inisiatif ini diamboil bukan sekadar letupan reaktif, apalagi untuk menanggapi sebuah celetuk kampungan dan memiliki tujuan mulia menyadarkan sesama bangsa Indonesia akan kiprah anak bangsa dan kecintaan kepada Tanah Air, saya sangat mendukungnya. Mudah-mudah-an kali ini, yang muncul bukan yang pakai jubah ala superman … he he he. Merdeka!
Pengacara : Muahmmad Asseggaf
Penyanyi : Ahmad Albar,
Aktris : Nabila Shakib, Lula Kamal
Aktor : Ali Zainal, Mark Sungkar
Perwira TNI : Saleh Basarah, Zaki Makarim
Perwira Polisi : Muhammad Faruk, Saleh Saaf
Wartawan : Fikri Jufri, Haidar Avan
Aktivis HAM: Munir, Ahmad Taufik
Sosiolog : Ivan Hadar
Pengamat Politik : Anies Baswedan
Intelektual : Haidar Bagi
Aktivis Lingkungan : Nano Anwar Makarim
Pengamat Militer : Salim Said
Novelis : Ben Sohib
Presenter TV : Rahma Sarita, Najwa Shihab
Penguasha Muda : Firhan Ali
Politikus : Alwi Shihab