Indonesia di Kancah Timur Tengah
Timur Tengah masih menjadi wilayah menarik bagi mayoritas orang Indonesia. Timur Tengah (yang mestinya dari Indonesia lebih tepat disebut Barat Tengah, Middle West) seolah punya makna istimewa.
Dari kacamata Indonesia, wilayah Timur Tengah dapat dilihat dari berbagai sudut dan kepentingan. Pertama, Timur Tengah merupakan wilayah tempat turunnya agama-agama Allah seperti Kristen dan Islam sehingga mayoritas orang Indonesia sangat menghormati tempat-tempat tertentu di wilayah itu. Kedua, sebagai wilayah kaya minyak, negara-negara Timur Tengah memiliki perekonomian yang kuat sehingga perlu didekati untuk membantu ekonomi kita. Ketiga, orang-orang kaya Timur Tengah perlu tenaga kerja nonformal yang bisa dipasok dari Indonesia.
Keempat, Timur Tengah menarik perhatian karena merupakan wilayah konflik yang dipicu ulah kaum Zionis Israel terhadap bangsa Palestina. Timur Tengah merupakan wilayah yang di dalamnya terdapat simbol perlawanan dari Palestina sebagai bangsa tertindas terhadap Zionis Israel yang merupakan kaum penindas dan didukung kekuatankekuatan besar dunia berkat lobinya yang kuat.
Upaya menarik pengusaha asal Timur Tengah agar berinvestasi di Indonesia ataupun membeli barang produksi Indonesia masih sebatas pernyataan dan kesepakatan. Di sisi lain, Pemerintah Indonesia belum sepenuhnya bisa melindungi tenaga kerja Indonesia di TimurTengah yang kerap mengalami penyiksaan dan pelecehan.
Yang terjadi, untuk memenuhi amanat dalam pembukaan UUD 1945, diplomasi kita mengarah pada upaya membantu proses penyelesaian masalah Palestina-Israel. Hanya saja, upaya itu sampai kini belum tampak hasilnya.
Politik Luar Negeri Amerika Serikat
Konstelasi politik dan keamanan dunia berubah total sejak runtuhnya menara kembar World Trade Center New York pada 11 September 2001. Sekalipun sampai saat ini belum dapat dipastikan siapa pelaku penghancuran itu, kemarahan pemerintah dan rakyat Amerika Serikat seolah menjadi legitimasi bagi Presiden George W Bush untuk melaksanakan kebijakan yang ternyata berlebihan.
Segala gerak-gerik dan bahkan nama berbau Arab dan Islam dicurigai. Tuduhan sebagai teroris menjadi hal yang biasa. Penjara Guantanamo dibangun. Afghanistan dan Irak disulap sebagai ajang memerangi terorisme. Kebijakan Presiden Bush itu antara lain berkat pengaruh kelompok neokonservatif.
Project for The New American Century telah mengarahkan politik luar negeri Presiden Bush dengan beberapa saran-tindak untuk menghadapi abad ke-21. Beberapa di antaranya: perlunya meningkatkan anggaran belanja untuk modernisasi angkatan perang; perlunya mempererat hubungan dengan negara-negara sahabat yang demokratis dan melawan rezim yang bermusuhan dengan kepentingan serta nilai-nilai Amerika Serikat; mempromosikan kebebasan politik dan ekonomi di luar negeri; dan terutama "to accept responsibility for America's uniqe role in preserving and extending an international order friendly to our security, our prosperity and our principle" (George Soros, The Bubble of American Supremacy).
Dengan prinsip tersebut, tidak aneh bila tentara Amerika Serikat bisa menjelajah ke mana pun mereka mau. Dasar tindakannya cukup penilaian sepihak bahwa suatu negara dianggap melawan kepentingan dan nilai Amerika atau dianggap membahayakan keamanan serta kesejahteraan rakyat Amerika.
Repotnya, Presiden Bush mengukur freedom dengan nilai Amerika. He has a simplistic view what is right and what is wrong. We are right and they are wrong. Hal tersebut bertentangan dengan prinsip open society yang mengakui "that we may be wrong". Untuk melengkapi prinsipnya itu, Presiden Bush dalam pidato di West Point pada Juni 2002 menyebutkan Bush Doctrine. Isinya, pertama, adalah "the United States will do everything in its power to maintain its unquestioned military supremacy.
Kedua, the United States arrogates the right to preemptive action. Mondar-mandirnya Menteri Luar Negeri Condoleza Rice ke Timur Tengah menandakan arti pentingnya kawasan yang sarat minyak bumi itu bagi Amerika. Kunjungan Presiden Bush ke Israel dan beberapa negara Timur Tengah lainnya menegaskan dukungannya kepada Israel--walaupun tetap tampak menginginkan perdamaian antara Israel dengan Palestina. Presiden Bush pun tidak lupa meminta Raja Arab Saudi meningkatkan produksi minyak agar dapat menekan harga minyak di pasaran dunia.
Posisi Indonesia
Di masa lalu, ketika komunis ingin berkuasa di IndoChina, teori domino Presiden Eisenhower membuat Indonesia selalu menjadi perhatian Pemerintah Amerika Serikat. Bahkan mantan Menteri Pertahanan Cohen meminta calon penggantinya agar menyempatkan datang ke Indonesia-- tidak saja saat krisis, tetapi juga pada keadaan yang baik. Cohen mengutip kata-kata Eisenhower pada 1950-an: "What happens in Indonesia will have an impact in Indiana.
"Saat ini, perhatian seperti itu tetap ada. Bukan lagi karena terori domino, tetapi terutama karena minyak dan gas Amerika yang masih banyak berada di bawah perut bumi kita. Sah-sah saja bagi Indonesia turut serta dalam upaya mendinginkan temperatur hubungan Israel-Palestina. Meski demikian, mesti dipahami bahwa wilayah itu seolah sudah menjadi domain negara-negara besar.
Hanya saja, upaya memanfaatkan kekayaan negara-negara Timur Tengah untuk pembangunan ekonomi ataupun menjadikan Timur Tengah sebagai penampung tenaga kerja sektor informal kita akan lebih terasa manfaatnya. Upaya menarik devisa dari Timur Tengah tentu lebih menarik dan konkret ketimbang jargon diplomasi politik yang tampak mentereng. (*)
(Opini ini ditulis oleh Suhartono Ronggodirdjo, Pengamat Hubungan Internasional, Mantan Diplomat , di okezone, Jum'at, 23 Mei 2008 - 10:37 wib)