Skip to main content

Kemarin saya berkunjung ke rumah sahabat karib cerdas yang juga mitra debat saya. Setelah ngobrol tentang sejumlah isu penting dan remeh, dia ngobrol mengungkapkan kekagumannya kepada seorang youtuber.

“Kontennya luar biasa bijak karena menganjurkan toleransi sesama manusia,” katanya dengan mimik serius seolah mendorong saya untuk segera membuka channelnya.

“Menganjurkan toleransi memang bagus. Banyak orang melakukan itu. Tapi apa yang membuatnya istimewa dan luar biasa?” tanyaku santai ingin mengorek lebih jauh tentang orang yang telah membuatnya kagum itu.

“Penjelasannya rasional,” sahutnya.

“Wah, kalau itu sih biasa. Banyak orang bikin konten video dan tulisan rasional,” desakku.

“Unik,” jawabnya singkat. Rupanya dia mulai kehabisan kata untuk mengendorse.

“Unik konten yang disampaikan atau unik penyampainya?” tanya saya berlagak investigator.

“Orangnya,” jawabnya.

“Oh, karena orangnya toh?” sambar saya memancing penjelasan lebih spesifik

“Lihat saja dulu. Pasti kamu tertarik,” potongnya.

Salah seorang teman tiba-tiba menyodorkan ponselnya dan memperlihatkan salah satu video youtube seorang pria setengah baya yang sekilas terlihat aneh dengan jubah berwarna-warni berbincang tentang agama dan semacamnya.

Saya selama beberapa detik sempat melongo bukan karena apa yang disampaikannya tapi dia duduk “mekangkang” seraya mempertontonkan CD segitiga membungkus gundukan di persimpangan bawah pusarnya di hadapan seorang wanita berjilbab yang mewawancarainya.

Dari tayangan sekilas itu, saya baru menemukan instanta faktual dari kata “unik” yang diluncurkan sohib saya itu.

Saya memaklumi alasan kekaguman teman saya itu kepada bijakawan dan sufi eksentrik itu. Tapi dari perbincangan ini saya menangkap sebuah fenomena ironis. Dunia Barat yang telah mengubah penjajahan militer menjadi penjajahan media dan menguasai dunia digital melalui beragam platform media sosial telah menyandera umat manusia sebagai pasar besar teknologi bioinformatika melalui industri penyebaran sindrom kebencian, kecemasan dan kehebohan.

Industri kebencian menciptakan polarisasi ekstrem dengan intimidasi, persekusi, bullying dan sebaganya. Industri kecemasan terkait kesehatan atau penampilan telah menguras uang kalangan menengah dan miskin yang mengidap culture shock demi menghindari penyakit akut atau melawan penuaaan. Industri kehebohan berhasil meledakkan rasa penasaran dan kegemaran sensasi hingga menggerus malu dan mengkudeta norma-norma. Tiktok dan aneka platform dengan bermacam fitur menyediakan semua kemudahan untuk harakiri logika. Emak-emak, yang mulus maupun yang mules mendeklarasikan keganjenan masaal menari pamer paha. Dalam klimaksnya, apapun yang menerjang norma lama dianggap unik dan kreatif. Agama dan apapun boleh dibincang oleh siapapun selama menghibur. Isi tak lagi sepenting visualitas dan keunikan, bahkan petuah agama yang diracik dengan kancut pun terdengar lebih menarik dari ceramah ilmiah guru besar yang dikenal super kompeten. Paha dan pahala, Tuhan dan hantu, dan semua kata seolah hanya aksara-aksara bugil makna.

Inilah soft war. Peluru dan misilnya adalah outlook dan medannya adalah otak umat manusia yang kehilangan individualitas. Hormon adrenalne-nya dipompa oleh kebencian, hormon kortisol-nya diletuskan oleh kecemasan dan hormon endorfinnya digenjot oleh kehebohan. Ketika tak ada lagi yang tersisa dari fitrahnya, basirahnya rabun dan akal sehatnya wafat. Kini mayoritas manusia bertawakal kepada para penguasa data dan algoritma yang melucuti privacinya dan melelapkannya dalam pesona meraverse yang absurd.