INFLUENCER

INFLUENCER
Photo by NEOM / Unsplash

Persaingan untuk menjadi tenar, berpengaruh, memiliki banyak penggemar, dan penonton dapat dipahami sebagai refleksi dari dinamika sosial yang kompleks dan perubahan dalam budaya populer.

Dengan meningkatnya penetrasi internet dan media sosial, orang memiliki akses yang lebih mudah untuk mengekspresikan diri dan membangun pengikut. Kemungkinan untuk mendapatkan pendapatan dari konten digital juga mendorong orang untuk bersaing dalam mendapatkan perhatian publik.

Kebutuhan untuk dikenal dan diakui dalam masyarakat seringkali menjadi prioritas bagi sebagian orang. Fenomena ini bisa dipengaruhi oleh budaya konsumsi instan dan dorongan untuk mendapat validasi dari orang lain.

Media sosial memainkan peran kunci dalam upaya mendapatkan popularitas dan pengakuan. Orang-orang dapat membangun citra dan merek pribadi mereka melalui platform seperti Instagram, YouTube, dan TikTok, yang memberikan kesempatan bagi siapa saja untuk menjadi figur publik.

Industri hiburan seperti musik, film, dan pertunjukan juga ikut memperkuat persaingan untuk menjadi tenar. Orang cenderung bersaing untuk mendapatkan peran terkemuka atau merilis karya yang populer demi mencapai kesuksesan dalam industri ini.

Saat seseorang merasa perlu untuk bersaing demi popularitas dan pengakuan, hal ini dapat memberikan tekanan psikologis yang signifikan. Perasaan tidak mampu atau kurang berhasil jika tidak mencapai popularitas yang diinginkan juga dapat membawa dampak negatif pada kesejahteraan mental seseorang.

Banyak individu mencari pengakuan sebagai bentuk eksistensi dalam masyarakat. Mereka berpikir bahwa dengan menjadi tenar dan mempunyai banyak penggemar, mereka dapat merasa diakui dan dihargai oleh orang lain.

Sayangnya, sebagian besar para pemburu ketenaran dan kolektor pengikut menjual diri dan semua norma kepatutan menjadi bagian dari kartel industri kecemasan, industri keseronokan, industri kegenitan, industri kebencian, industri kemewahan dan semacamnya dengan menghipnotis awam nir filter tanpa mempedulikan nasib korban yang berjatuhan di baliknya. Inilah Lite Capitalism, kapitalisme jelata, yang lebih kejam dari big capitalism yang diasosiasikan perusahaan raksasa atau korporasi multinasional yang kadang lebih berkuasa dari pemerintah di sejumlah negara.

Read more