Inilah kota dengan sejuta masalah, mulai dari kemacetan lalu lintas, kacaunya transportasi, buruknya pelayanan publik dan sarana umum, meningkatnya polusi udara, keruwetan tata kota, banjir, pengangguran, kebakaran yang direncanakan maupun tidak, kemiskinan, premanisme, anak jalanan, prostitusi, rumah liar sampai terorisme dan sebagainya.
Jakarta sedang bersiap menyelenggarakan sebuah hajatan besar, yaitu Pemilihan Gubernur untuk lima tahun mendatang. Jauh sebelum diselenggarakan, pro dan kontra dan isu-isu SARA sudah menjadi menu langganan di media resmi dan media sosial.
Ekstremitas meningkatkan suhu politik di dua kubu. Ada yang menjadikan keyakinan mainstream sebagai harga mati dan syarat mutlak. Ada yang pasang badan mempertahankan incumbent yang dipuja karena dianggap jujur meski oleh sebagian dianggap kasar dan arogan. Di tengah polarisasi itu ada yang tak sibuk mempersoalkan “siapa” tapi mencari “apa”.
Bagi kubu ketiga, keadilan dan kejujuran adalah “apa”, sebuah standar dan parameter aspirasi. Tak penting siapa figurnya, incumbent atau new comer, sekeyakinan atau tidak, pribumi atau keturunan. Kubu yang tidak ikut-ikutan perang propaganda dan saling mengunggulkan calonnya ini sedang mencari keadilan dan kejujuran. Di mana pun dan dalam sosok siapapun, dua karakter ini bersemayam, dialah yang layak menjadi pemimpin Jakarta.
Yang perlu dipahami oleh setiap warga yang rasional, politik itu bukan aksioma seperti matematika yang ajek. Ia dinamis, relatif dan pragmatis. Tak perlu mengeluarkan semua kartu untuk satu pilihan. Pilgub bukan agama. Ia hanya sebuah ikhtiar relatif untuk mencari manager sebuah institusi pengelolaan kota besar atau propinsi.
Gubernur bukan Jon Snow dalam Game of Thrones atau Gandalf dalam Lord of The Rings. Tak perlu lebay soal itu. Siapapun berhak mendukung calon pilihannya tanpa memberhalakannya, dan boleh menolak calon lain tanpa memfitnahnya.
This is “Jakada”…