AMERIKA Serikat (AS) dalang di balik penghancuran ideologi bangsa Indonesia. Memaksakan kapitalisme secara tidak beradab menjadi nilai, hukum dan model pelembagaan ekonomi politik bangsa Indonesia. Kapitalisme menjadi dasar bagi rencana AS dalam melancarkan proyek imperialismenya di Indonesia. Sendi-sendi dasar kehidupan berbangsa dan bernegara dihancurkan secara sistematis dengan menciptakan ketergantungan, perangkap utang luar negeri, dan investasi asing.
Gotong royong yang merupakan nilai yang tertanam dalam hati dan sanubari rakyat Indoensia selama beratus-ratus tahun digantikan dengan idiologi kompetisi yang menjadi strategi utama untuk mematikan segenap potensi kekuatan ekonomi rakyat yang dipaksa bertanding dengan modal-modal besar dari negara-negara maju.
AS mendalangi proyek brainwash para inteltual dan para ekonom yang kemudian dikenal sebagai Mafia Barkeley dan sengaja dipersiapkan untuk mengambil alih kendali pengelolaan perekonomian Indonesia pasca penggulingan Soekarno pada 1966, yaitu untuk memutar balik haluan perekonomian Indonesia sesuai dengan kepentingan kaum kolonial. AS menjadi dalang dalam memperalat elit politik Indonesia yang melakukan subversi konstitusi dari sejak tahun 1967 sampai dengan saat ini.
Selain itu, AS adalah dalang di balik skenario nekolonialisme (NEKOLIM) di Indonesia. AS sejak awal sangat berkepentingan terhadap sumber daya alam Indonesia, telah mendompleng pada kolonialisme Belanda sejak tahun 1870-an dan mengangkangi kekayaan perkebunan serta minyak dan gas bumi (migas) hingga saat ini. Perusahaan-perusahaan perkebunan dan perusahaan minyak AS adalah aktor utama dalam seluruh praktik kekejaman kolonialisme di masa penjajahan Belanda.
AS memiliki World Bank (Bank Dunia). Melalui lembaga keuangan ini AS memberi pinjaman 195 juta dolar ke Belanda (1947)– pinjaman kedua dalam sejarah World Bank yang kemudian digunakan Belanda untuk meluncurkan serangannya terhadap para nasionalis Indonesia yang menuntut kemerdekaan. Sebanyak 145.000 tentara pendudukan Belanda dikirim ke Indonesia setelah pinjaman tersebut. Ini adalah operasi kelas kakap yang hampir tidak mungkin untuk tidak menjadi perhatian World Bank.
Tahun 1949 AS kembali memberi bantuan kepada Belanda sebanyak 400 juta dolar AS di bawah program marshal plan yang menjadi sumber keuangan Belanda untuk menekan Republik Indonesia, dan memaksa elit Indonesia melalui KMB bersedia menerima tiga syarat ekonomi bagi kemerdekaan yaitu (1) bersedia mempertahankan keberadaan perusahaan-perusahaan
asing yang beroperasi di Indonesia (Pasal 4); (2) bersedia mematuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Dana Moneter Internasional (Pasal 15); dan (3) bersedia menerima warisan utang Hindia Belanda sebesar 4,3 miliar Gulden (Pasal 25 dan 26). Ketiga syarat inilah yang menjadi dasar bagi dominasi AS atas ekonomi Indonesia.
Lebih lanjut, AS adalah aktor utama dalam seluruh proyek neokolonialisme dan imperialism melalui utang luar negeri dan investasi
asing di Indonesia. AS sebagai pemegang saham terbesar di IMF dan Bank Dunia telah melakukan operasi dalam rangka membuat semua kebijakan ekonomi yang mengabdi pada kepentingan NEKOLIM. Kedua lembaga keuangan Internasional tersebut adalah pemberi utang terbesar pada Indonesia dan mendapatkan dua hal sekaligus yaitu bunga utang yang telah melampaui jumlah yang mereka pinjamkan dan seluruh kebijakan ekonomi, undang-undang yang menguntungkan kepentingan AS di Indonesia.
AS adalah salah satu negara yang memberikan pinjaman bilateral terbesar ke Indonesia yang menjadi pintu masuk bagi seluruh proyek eksploitasi sumber daya alam. AS emlalui World Bank berperan besar dalam merancang proyek untuk memporakporandakan Pertamina perusahaan migas nasional yang sempat menjadi tandingan perusahaan asal AS. Hasilnya, perusahaan migas AS telah mengeruk kekayaan alam migas selama lebih dari 100 tahun, Caltex, Chevron dan Exxon merupakan tiga perusahaan AS yang paling terkemuka, menguasasi dan mengontrol sebagian besar kekayaan minyak dan gas nasional hingga saat ini.
Tak hanya itu, AS juga menjadi dalang di balik pengurangan sumber kekayaan mineral Indonesia. Lahirnya Undang Undang (UU) Penanaman Modal Asing (PMA) Nomor 1 Tahun 1967 merupakan kehendak AS untuk mewujudkan penguasaan atas sumber mineral di Indonesia. Hasilnya, masuklah perusahaan multinasional seperti Freeport dan Newmont, keduanya adalah perusahaan tambang terbesar di idnonesia hingga saat ini.
Tidak cukup puas juga AS melalui Bank Dunia, memberikan sogokan kepada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk sebuah UU penanaman modal yang baru yaitu UU No. 25 Tahun 2007 yang memberi kesempatan bagi penguasaan HGU oleh modal asing hingga 95 tahun. Hasilnya lebih dari 175 juta hektar lahan di Indonesia dikuasai modal besar dan sebagian besar adalah modal asing asal AS, UE dan Jepang yang merupakan sekutu imperialisme di Indonesia.
AS adalah dalang di balik segala macam tragedi kemanusiaan yang terjadi di Indonesia, mulai dari pembantaian para pejuang Republik pada masa revolusi kemerdekaan, tragedi pembantaian lebih dari 2-3 juta manusia pada tahun 1965 dan penyingkiran semua kekuatan anti kapitalisme di Indonesia. Melalui Bank Dunia AS membiayai proyek pemusnahan orang-orang miskin di perkotaan melalui proyek transmigrasi ke pedesaan dan AS menutup mata atas segala proyek pemiskinan struktural yang
terjadi akibat ulah mereka.
Di seluruh daerah dimana perusahaan migas, tambang mineral AS beroperasi kemiskinan berlangsung secara luas yang diikuti dengan pelanggaran HAM, kerusakan lingkungan dan tragedy kemanusiaan lainnya. Perusahaan Newmont Minahasa Raya terlihat dalam suatu praktik kekejaman melalui pembuangan limbah logam berat yang menyebabkan masyarakat Teluk Buyat Sulawesi Utara terjangkit berbagai macam penyakit yang mematikan.
Di Nusa Tenggara Barat (NTB) sebuah perusahaan AS yaitu PT Newmont Nusa Tenggara terlibat dalam teror dan penembakan terhadap penduduk yang pemukimannya direncanakan akan menjadi lokasi pertambangan perusahaan terkaya di dunia tersebut. Di Papua, PT Freeport yang merupakan perusahaan terbesar asal AS selama 43 tahun menjadi aktor utama dalam tragedi pemiskinan, teror, intimidasi dan penghancuran lingkungan, perampasan tanah adat di Papua.
Atas hal tersebut di atas, kalangan pemuda dan aktivis yang tergabung dalam gerakan Petisi 28 menyerukan perlawanan terhadap seluruh proyek Nekolim AS melalui (1) penghapusan utang luar negeri dari AS, World Bank dan sekutu Imperialisme AS lainnya, (2) menyerahkan perusahaan-perusahaan tambang migas, mineral AS dan lain-lain untuk dinasionalisasi menjadi perusahaan nasional, (3) menghentikan seluruh konpirasi AS dengan elit Indonesia khususnya SBY-Boediono dalam melanggengkan Nekolim, (4) menghentikan segala bentuk subversi terhadap konstitusi Pancasila dan UUD 1945.
Lebih lanjut, Petisi 28 mengajak kepada seluruh elemen muda guna menyatukan tekad untuk kembali kepada Proklamasi dan UUD 1945 sebagai jalan dalam melepaskan diri dari belenggu Nekolim AS dan mendesak agen Nekolim SBY-Boediono untuk mundur! (Ditulis oleh Oleh: Salamuddin Daeng (Jubir Petisi 28)