Baru saja saya dihubungi wartawan sebuah media terkemuka yang ingin tahu tentang sikap politik komunitas Syiah terkait pilgub DKI.
Saya tegaskan bahwa salah satu cirikhas komunitas Syiah adalah indepedensi sikap faktual tegantung identifikasi dan analisa setiap penganut berdasarkan data masing-masing selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip mayor hukum primer dalam fikih.
Cirikhas lainnya adalah memandang kontestasi politik nasional dan lokal sebagai fenomena dinamis dan relatif. Karena itu, polemik pro dan kontra terkait pilgub dan sebelumnya pilpres adalah sesuatu yang wajar.
Ciri khasnya yang ketiga adalah keseimbangan antara kepatuhan teologis dan kesadaran rasional, tanpa doktrinasi dan brain washing. Karena itu, tidak akan ada instruksi spesifik tentang keberpihakan kepada seorang calon presiden, calon gubernur, calon bupati dan calon walikota.
Tidak ada pencatatan nama atau registrasi keanggotaan. Siapapun yang merasa tertarik memilih “trend kesadaran” yang beraroma filsafat, teologi, Quran dan Sunnah ini, secara natural adalah penganutnya. Tidak ada prosesi khusus. Tidak ada seragam khusus, ciri-ciri fashional dan visual yang eksklusif. Ada yang pakai sarung dan koko. Ada juga yang pakai jeans dan T-Shirt. (Belum ditemukan yang menggunting bawah celana panjang). Ada yang merawat jenggot. Ada pula yang klimis seperti artis Korea.
Penganutnya beragam etnis, suku dan daerah. Ada habib, tabib, akademisi, musikus, penambal ban dan pengangguran. Syiah adalah mozaik kebhinnekaan.