Kemarin setelah keliling di Denpasar mencari kamar kost sekitar kampus Unud, sebuah tempat yang sekilas terlihat nyaman ditemukan. Seorang wanita tua dengan busana tanktop muncul dari balik pagar. Tak sempat kikuk melihat itu karena dia membuka pintu lalu dengan ramah mempersilakan kami berdua masuk dan melihat kamar yang disewakan. Setelah menerawang sekilas kondisi dalamnya dan calon mahasiswa baru fakultas antropologi itu merasa cocok, DP dibayar via transfer ke rekening keponakannya untuk satu bulan.
Sampai di sini tak ada yang istimewa dalam peristiwa ini untuk diceritakan.
Sebelum berpamit, saya merasa perlu melengkapi pertemuan ini dengan perbincangan ringan sebagai bagian dari etika komunikasi umum, terutama dalam masyarakat Bali yang dikenal ramah.
“Ibu aslli orang Bali?” tanyaku spontan.
“Saya asli Madura?” sahutnya pelan.
“Anak saya ini bisa berbahasa Madura,” timpalku berusaha memulai keakraban.
“Oh, saya tidak bisa berbahasa Madura,” sahutnya tersipu rada malu.
“Oh, sudah lama tinggal di Bali ya bu?”
“Ya, sejak muda sudah tak pernah kembali ke Madura.”
Saya menyampaikan terimakasih dan menitipkan putera saya kepadanya juga meminta kesediaannya untuk mengawasinya. Dia pun mengangguk seraya berucap “Insya Allah”.
Saya gagal menahan penasaran.
“Oh, ibu beragama Islam ya?”
Duh, saya menyesal dalam hati melontarkan pertanyaan tak berkelas ini. Tapi penasaran dengan dua hal kontras, yaitu Madura dan tanktop yang rasanya kurang rukun memang terlalu menarik untuk tak ditelisik.
“Oh saya beragama Hindu. Eh, saya mengikuti agama suami,” jawabnya seperti berbisik.
Saya pura-pura tak terkejut. Saya yakin dia tak menangkap tanda apapun dalam mimik dan gestur saya detik itu.
Kata “insya Allah” yang terucap fasih itu ternyata terlalu lekat di slot paling bawah memorinya, sehingga keyakinan yang dianut karena hubungan perkawinan pun tak mampu menghapusnya.
Insyaallah atau Insya Allah (إِنْ شَاءَ ٱللَّٰهُ In šyāʾ Allāh) adalah ucapan seseorang dalam bahasa Arab berarti “Jika Allah mengizinkan” atau “bila Allah berkehendak”.
Ternyata kata ini tidak hanya digunakan oleh umat Muslim. Kaum Kristen yang berbahasa Arab seperti Maronit di Lebanon dan Kristen Koptik Ortodoks di Mesir juga biasa mengucapkannya. Insyaallah bukan lagi simbol khas Muslim. Setiap yang percaya Tuhan boleh mengucapkannya.
“ …dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: “Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi, kecuali bila Allah berkehendak (Al-Kahfi 18:23-24).
Dalam ayat suci tersebut Allah menganjurkan manusia sadar bahwa Tuhan dan kehendakNya adalah elemen utama dalam kausalitas sebagai Kausa Perdana di balik setiap peristiwa sekaligus menegaskan bahwa kehendak diri bukanlah sebab tunggal.
Saya langsung mengalihkan kecanggungan itu dengan membicarakan hal-hal ringan meski gempa dalam benak saya belum sepenuhnya reda.
Anyway, tak semua orang memandang agama sebagai pilihan benar dan salah. Banyak yang menganggap agama-agama hanyalah semacam menu-menu makanan yang dipilih berdasarkan selera atau situasi aktual yang mendesak saat itu. Boleh jadi, dia punya dua format agama, privat dan bersama.
Dalam pertemuan kelas khusus irfan teori studi naskah Misbah Al-Hidayah karya Imam Khomeini, syarah guru kami membuat saya menkonfirmasi bahwa Sang Wujud yang Misterius Total (Ghaibul Ghuyub) mengimanensikan eksistensiNya melalui gradasi cahaya dan lapisan-lapisan zhuhurnya dalam entitas-entitas sublime di bawahnya yang akibat akulturasi dalam ragam mitos, diberi aneka nama sesuai bahasa masing-masing masyarakat dengan dewa-dewa, para santo, wali-wali dan lainnya yang semuanya merupakan penegasan emanasi yang konstan dalam rute menurun (nuzul) dan menanjak (shu’ud)
Tuhan Sang Realitas Tunggal ketika tampak, ia mulai tampak kuat dan kemudian turun, mencapai dunia materi, dunia keragaman dan kenihilan. Perhatikan benda mainan yo-yo. Ketika seseorang melempar bola kecil yang diikat ke tali ini di tangannya, ia melesat dengan keras untuk mencapai titik terjauh dari pusat peluncuran – titik terjauh adalah tahap di mana bola memiliki momentum dan gerakan terlemah – dan kemudian mengunci kembali. “Dan kepadaNya kamu sekalian akan kembali” (Al-Baqarah : 28). Dialah titik awal dan titik akhir dalam siklus abadi.
Enjoy your faith!
Banyak orang kerap mengusung jargon “agama cinta” dan “mazhab cinta” dan memahaminya secara denotatif seolah agama hanya mengajarksn cinta, damai, tenteram dan semacamnya. Padahal cinta dalam pengertian antropologis sama dengan cahaya yang berpasangan dengan nircahaya yang disebut kegelapan. Cinta mesti berdampingan dengan nircinta yang oleh sebagian besar disebut benci.
Afirmasi berarti penetapan yang positif. Afirmasi juga berarti penegasan dan peneguhan. Negasi berarti penyangkalan; peniadaan; seperti tanda tidak dan bukan dalam logika bahasa. Inilah dasar logika biner dan matematika yang merupakan fondasi semua ilmu. Tanpa kejelasan dan makna baku afirmasi (afirmatif, positif)dan negasi (negatif), semua sistem dan standar nilai gugur.
Selaras dengan afirmasi dan negasi adalah tawalli dan tabarri. Tawalli (bahasa Arab: التولی) adalah sebuah terminologi teolog dan antonimnya adalah Tabarri. Tawalli dalam terminologi Syiah berartikan kecintaan dan loyalitas kepada para imam dan para pemimpin agama serta tunduk dan menerima otoritas vertikal kepemimpinan mereka. Tawalli yang berbarengan dengan tabarri adalah Tabarri (Bahasa Arab: التبري) atau disebut juga baraah adalah sebuah istilah teologis dan salah satu ajaran serta praktik beragama rasional.
Tabarri bermakna menjauh dan berlepas diri dari musuh Tuhan dan musuh para wali atau pemimpin agama. Dalam Al-Qur’an tema tawalli dan tabarri disebutkan dalam 20 surah Al-Qur’an
Sebagian orang ingin bersikap “beradab” dengan menegatifkan secara mutlak semua yang berkonotasi “kekerasan” seperti perang, resistensi, dan konfrontasi dan mengafirmasi secara general semua yang bermakna anti kekerasan alias damai.
Mereka menentang hukuman mati dan menyerukan yang dijajah (rakyat Palestina) dan penjajah (rezim zionis) untuk berdamai tanpa menetapkan siapa yang salah dan siapa yang benar atau berhak.
Pemahaman holistik tentang makna “tawalli” dan “tabarri” diperlukan agar tak menolak secara general resistensi, protes dan kritik.
Tanpa prinsip tabarri takkan ada penegakan hukum, perjuangan dan pengorbanan. Tanpa tawalli tak akan ada kepatuhan, empati dan solidaritas.
Karena itu jelaslah tak semua damai adalah baik, dan konfrontasi tak selalu buruk. Menjadi gamblang pula, memilih konfrontasi tak berarti anti damai. Memilih rekonsiliasi tak berarti anti konfrontasi.
Sikap negatif terhadap anasir negatif adalah positif. Sikap positif terhadap anasir negatif adalah negatif. Sikap positif terhadap anasir positif adalah positif. Sikap negatif terhadap anasir positif adalah negatif.
Karena tabarri, Israel dilawan dan AS dikecam. Karena tawalli, perlawanan demi kemerdekaan Palestina didukung. Karena tabarri, berdamai dengan penjajah berarti anti keadilan. Karena tawalli, menindas sesama berarti anti keadilan.
Kesimpulannya, berdamai tanpa keadilan adalah kezaliman, dan perlawanan tanpa keadilan adalah kezaliman.
Kemarin setelah keliling di Denpasar mencari kamar kost sekitar kampus Unud, sebuah tempat yang sekilas terlihat nyaman ditemukan. Seorang wanita tua dengan busana tanktop muncul dari balik pagar. Tak sempat kikuk melihat itu karena dia membuka pintu lalu dengan ramah mempersilakan kami berdua masuk dan melihat kamar yang disewakan. Setelah menerawang sekilas kondisi dalamnya dan calon mahasiswa baru fakultas antropologi itu merasa cocok, DP dibayar via transfer ke rekening keponakannya untuk satu bulan.
Sampai di sini tak ada yang istimewa dalam peristiwa ini untuk diceritakan.
Sebelum berpamit, saya merasa perlu melengkapi pertemuan ini dengan perbincangan ringan sebagai bagian dari etika komunikasi umum, terutama dalam masyarakat Bali yang dikenal ramah.
“Ibu aslli orang Bali?” tanyaku spontan.
“Saya asli Madura?” sahutnya pelan.
“Anak saya ini bisa berbahasa Madura,” timpalku berusaha memulai keakraban.
“Oh, saya tidak bisa berbahasa Madura,” sahutnya tersipu rada malu.
“Oh, sudah lama tinggal di Bali ya bu?”
“Ya, sejak muda sudah tak pernah kembali ke Madura.”
Saya menyampaikan terimakasih dan menitipkan putera saya kepadanya juga meminta kesediaannya untuk mengawasinya. Dia pun mengangguk seraya berucap “Insya Allah”.
Saya gagal menahan penasaran.
“Oh, ibu beragama Islam ya?”
Duh, saya menyesal dalam hati melontarkan pertanyaan tak berkelas ini. Tapi penasaran dengan dua hal kontras, yaitu Madura dan tanktop yang rasanya kurang rukun memang terlalu menarik untuk tak ditelisik.
“Oh saya beragama Hindu. Eh, saya mengikuti agama suami,” jawabnya seperti berbisik.
Saya pura-pura tak terkejut. Saya yakin dia tak menangkap tanda apapun dalam mimik dan gestur saya detik itu.
Kata “insya Allah” yang terucap fasih itu ternyata terlalu lekat di slot paling bawah memorinya, sehingga keyakinan yang dianut karena hubungan perkawinan pun tak mampu menghapusnya.
Insyaallah atau Insya Allah (إِنْ شَاءَ ٱللَّٰهُ In šyāʾ Allāh) adalah ucapan seseorang dalam bahasa Arab berarti “Jika Allah mengizinkan” atau “bila Allah berkehendak”.
Ternyata kata ini tidak hanya digunakan oleh umat Muslim. Kaum Kristen yang berbahasa Arab seperti Maronit di Lebanon dan Kristen Koptik Ortodoks di Mesir juga biasa mengucapkannya. Insyaallah bukan lagi simbol khas Muslim. Setiap yang percaya Tuhan boleh mengucapkannya.
“ …dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: “Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi, kecuali bila Allah berkehendak (Al-Kahfi 18:23-24).
Dalam ayat suci tersebut Allah menganjurkan manusia sadar bahwa Tuhan dan kehendakNya adalah elemen utama dalam kausalitas sebagai Kausa Perdana di balik setiap peristiwa sekaligus menegaskan bahwa kehendak diri bukanlah sebab tunggal.
Saya langsung mengalihkan kecanggungan itu dengan membicarakan hal-hal ringan meski gempa dalam benak saya belum sepenuhnya reda.
Anyway, tak semua orang memandang agama sebagai pilihan benar dan salah. Banyak yang menganggap agama-agama hanyalah semacam menu-menu makanan yang dipilih berdasarkan selera atau situasi aktual yang mendesak saat itu. Boleh jadi, dia punya dua format agama, privat dan bersama.
Dalam pertemuan kelas khusus irfan teori studi naskah Misbah Al-Hidayah karya Imam Khomeini, syarah guru kami membuat saya menkonfirmasi bahwa Sang Wujud yang Misterius Total (Ghaibul Ghuyub) mengimanensikan eksistensiNya melalui gradasi cahaya dan lapisan-lapisan zhuhurnya dalam entitas-entitas sublime di bawahnya yang akibat akulturasi dalam ragam mitos, diberi aneka nama sesuai bahasa masing-masing masyarakat dengan dewa-dewa, para santo, wali-wali dan lainnya yang semuanya merupakan penegasan emanasi yang konstan dalam rute menurun (nuzul) dan menanjak (shu’ud)
Tuhan Sang Realitas Tunggal ketika tampak, ia mulai tampak kuat dan kemudian turun, mencapai dunia materi, dunia keragaman dan kenihilan. Perhatikan benda mainan yo-yo. Ketika seseorang melempar bola kecil yang diikat ke tali ini di tangannya, ia melesat dengan keras untuk mencapai titik terjauh dari pusat peluncuran – titik terjauh adalah tahap di mana bola memiliki momentum dan gerakan terlemah – dan kemudian mengunci kembali. “Dan kepadaNya kamu sekalian akan kembali” (Al-Baqarah : 28). Dialah titik awal dan titik akhir dalam siklus abadi.
Enjoy your faith!