INTOLERANSI ANTARA DOKTRIN DAN PRIVILEGE

INTOLERANSI ANTARA DOKTRIN DAN PRIVILEGE
Photo by Unsplash.com

INTOLERANSI ANTARA DOKTRIN DAN PRIVILEGE

Intoleransi, sebagai dampak langsung dari pemutlakan persepsi -yang pasti relatif atau kerusakan sistem nalar- menjangkiti siapapun yang malas menggunakan akal dengan logika.

Intoleransi, meski bertingkat-tingkat, tidak hanya muncul dalam bidang keyakinan agama dan aliran tapi muncul dalam bidang apapun yang melibatkan pihak lain seperti rumahtangga, perusahaan dan lainnya.

Kualitas dan kuantitas intoleransi juga bervariasi sesuai kadar kerusakan sistem nalar. Intoleransi pragmatis muncul sebagai sikap karena pihak lain dianggap sebagai penghalang kepentingan diri. Intioleransi psikologis menjadi adonan sistem nalar dan hati bila intoleransi pragmatis makin menyempurna.

Intoleransi bisa dilukiskan sebagai virus. Intoleran adalah manusia normal yang menjadi korban gigitan zombie sebelumnya, yang juga korban dalam rangkaian panjang virus intoleransi.

Intoleransi bisa terjadi secara mutual karena masing-masing pihak saling berusaha mendominasi. Intoleransi juga terjadi secara sepihak bila salah satu pihak berada dalam posisi lemah secara kuantitatif dan kualitatif.

Dalam bidang keyakinan ada dua objek intoleransi; intoleransi terhadap penganut agama lain (bisa disebut intoleransi eksternal) dan intoleransi terhadap sesama agama namun berbeda aliran (bisa disebut intoleransi internal). Kadang seseorang atau kelompok atau masyatakat atau pemegang kekuasaan bisa bersikap toleran terhadap penganut agama, tapi intoleran terhadap seagama yang berbeda aliran. Kadang pula sebaliknya.

Perbedaan sikap toleran dan intoleran didasarkan pada dua tendensi di baliknya; pertama adalah intoleransi teologis, yaitu kebencian dan penolakan yang bersumber dari doktrin yang dijejalkan sebagai prinsip atas nama agama dan aliran; kedua adalah intoleransi politis, yaitu kebencian dan diskriminasi terharap pihak lain yang dianggap sebagai gangguan terhadap kemapanan yang tak lain hanyapah kepentingan dominasi kultural segelintir orang yang secara temurun menikmati privilege atau hak istimewa berbungkus agama dan budaya di tengah masyarakat.

Intoleransi pragmatis tidak mengikuti pakem yang ajek dan tidak konsisten, karena yang menjadi alasannya adalah keuntungan dan kepentingan juga besaran "umpan balik" yang diharapkan. Karena itu, perubuhan sikap sejumlah tokoh terkemuka terhadap sebuah kelompok minoritas tidaklah mengherankan.

Intoleransi pragmatis (politis) selalu ditampilkan sebagai intoleransi teologis. Pelakunya selalu menutupi tendensi kekuasaan dengan dalih perlindungan terhadap kekayinan kelompok yang memberinya hak istimewa tersebut.

Dalam situasi tertentu kegaduham sosial dan kekerasan massal terhadap kelompok lain kerap terjadi karena digerakkan pemegang hak istimewa.

Umumnya, intoleransi teologis dalam masyarakat Islam bersumber dari doktrin sektarian yang disebarkan oleh Ibnu Taymiyah, teolog kontroversial yang ditolak oleh mainstream Sunni, dan dikembangkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Baca juga: Manhaj Salaf

Wahabisme yang menyebut diri Salafiyah adalah representasi intoleransi teologis dalam masyarakat Islam. Tragisnya, sebagian awam dalam masyarakat terpengaruh doktrin intoleransi Wahabisme karena menganggapnya sebagai bagian Islam mainstream Sunni. Padahal Islam Sunni di Indonesia direprsentasi oleh NU. Baca juga: SUNNI ASLI

Kadar keterpengaruhan oleh Wahabisme juga bervariasi. Sebagian individu Sunni terpengaruh secara total dan bisa dianggap melakukan konversi alias pindah keyakinan. Sebagian lain hanya terpengaruh secara sporadis dan eklektik.

Intoleransi teologis, terutama yang terwahabikan secara eklektik, berpeluang menjadi toleran kembali bila menerima ajakan dialog, meski sebagian besar menolaknya.

Intoleransi teologis diekspresikan dalam berbagai sikap dan tindakan, mulai dari pasif hingga aktif bahkan agresif. Penyesatan dan pengkafiran, yang merupakan bagian dari hate speech, adalah intoleransi aktif dan agresif.

Agresivitas intoleransi juga berperingkat mulai dari verbal melalui ucapan atau ceramah dan tulisan hingga aksi kekerasan.

Intoleransi pragmatis tidak bisa diantisipasi dengan dialog dan klarifikasi keyakinan, karena akarnya bukan penafian keyakinan lain. Yang patut dilakukan adalah meyakinkan bahwa kehadiran kelompok aliran lain bukanlan ancaman dan gangguan terhadap keutuhan keyakinan kelompok yang berada dalam area pengaruhnya.

Berdasarkan klasifikasi dan analisa diatas, tragedi kekerasan terhadap sejumlah warga Syiahdi Sampang (yang berpenduduk mayoritas NU) beberapa tahun silam bisa dianggap sebagai produk intoleransi pragmatis. Sedangkan aksi kekerasan terhadap jamaah Ahmadiyah bisa dikategorikan sebagai produk intoleransi teologis alias keyakinan.

Bersambung...

Read more