Bagi sebuah institusi komunal mengambil posisi tengah sekaligus menegaskan sikap netral antar dua kutub politik domestik yang cenderung ekstrem memang tidak mudah karena setiap individu di dalamnya secara subjektif punya pilihan pandangan dan sikap masing-masing sesuai data dan opini yang mempengaruhinya. Namun, karena taklif individual dan taklif komunal tidaklah sama secara moral dan teologis, maka sikap itu membuktikan independensi dan kehati-hatian.
Tapi bagi yang tak sempat membedakan dua dimensi taklif tersebut karena terbiasa hidup dengan individualitas tanpa mengemban tanggungjawab dalam konteks komunitas yang terstruktur, pandangan dan sikap individual terhadap salah satu dari dua kutub itu terlanjur diyakini sebagai aksioma atau bahkan mungkin pandangan teologis final yang kadang terkesan ekstrem, padahal tidak demikian. Inilah mindset stereotipe yang mendorong intoleransi samar yang tak lain adalah mangsa sistem algoritma yang diciptakan oleh para globalis penguasa platform-platform raksasa media sosial.
Akibat sistem algoritma yang efektif dalam membentuk opini homo sapien demi memperebutkan kekuasaan dan dominasi, masyarakat terbelah atau membelah diri menjadi dua kutub irrasional yang sama-sama intoleran dan ekstremis meski salah satunya menuduh lawannya ekstremis dengan aneka stigma.
Sedemikian sengitnya dikotomi ini mungkin hampir tak ada individu di arena interaksi digital atau media sosial yang lolos dari pengkubuan.
Salah satu dari dua polar ini berusaha melakukan apapun demi mengidentifikasi diri sebagai polar yang sama bertentangan dengan polar di seberang.
Dalam kecamuk ini, yang diperlukan adalah bersabar seraya tetap telaten menjelaskan spektrum kemaslahatan komunal yang mestinya dipahami sebagai hak dan domain institusi yang bertanggungjawab atas individu-individu yang secara sadar menegaskan partisipasinya secara formal di dalamnya.