Aksi kejahatan massa tak selalu disulut oleh provokasi yang dilakukan oleh massa beringas. Sangat para pelaku telah merencanakannya sebelum hadir di TKP.
Meski kemungkinan adanya provokasi di TKP, asumsi adanya provokasi dan provokator di TKP terkesan meringankan kejahatan karena memposisikan pelaku sebagai korban.
Doktrin irrasional yang “diagamakan” cukup menjadi motif dengan dasar anggapan itu sebagai kebaikan dan kewajiban.
Kalau pun ada, maka secara vertikal provokasinya adalah doktrin yang sudah diinjeksikan dalam setiap even mobilisasi di luar TKP, dan provokatornya adalah para agamawan intoleran di mimbar-mimbar khotbah, taklim, tausiyah dan ceramah.
Tulisan-tulisan dan comment di media sosial yang mencerminkan pandangan ekstrem dan intoleran bahkan mensyukuri aksi penganiayaan itu menkonfirmasi mindset kebencian sebagai sikap teologis yang dipilih.