Dalam interaksi fisikal (offline) biasanya orang lebih berhati-hati menghindari malu bila keliru. Dalam interaksi virtual (online) banyak orang tanpa beban malu atau takut salah menyebarkan info, mengemukakan dan membantah pendapat meski tak kompeten demi memenangkan lomba update.
Andai sebagian besar postingan tulisan dan video yang beredar di sosmed tak hanya lewat sekilas depan mata setiap orang yang berbagi, tapi terserap ke dalam benaknya, mungkin sebutan awam tak relevan lagi.
Di era serba visual kebodohan karena dimanage tak terlihat sebagai kebodohan. Justru hal serius dan logis terkesan purba, tak menarik dan konyol. Kebenaran kini tak sepenting efek emosional publik. Inilah post-truth.
Yang menakjubkan adalah fenomena banyaknya orang tak tahu tentang suatu perkara tapi berani berpendapat, ngotot mempertahankannya , bahkan mengajak orang lain mendukungnya juga menyalahkan yang tak sependapat.
Post-truth mendorong siapapun untuk berekspresi dan merespon terhadap apapun. Inilah yang disebut “Matinya Kepakaran” oleh Tom Nichols.
Post truth menciptakan society yang dominan, garang dan serba tahu. Bullying, viralitas, like dan unlike adalah penentu strata keningratan digital.
Tak ada lagi norma pakem dalam etika. Yang terjadi adalah kompetisi menjadi influencer. Kegenitan menggantikan kepakaran, kehebohan menggeser otentisitas dan algoritma mengkudeta logika.
Orang-orang yang telah terhipnotis dengan wibawa artifisial dan simbolik pun hanya mengangukkan kepala yang telah disulap sebagai keranjang post truth. Bagi yang jadi pelanggan setianya, nilai kemuliaan adalah warisan temurun yang terlanjur menjebol fondasi akal sehat dan menganggap kebenaran telah menyosok dalam sebatang individu. Orang-orang polos yang merelakan diri sebagai jelata itu mengerumuninya dengan takzim bukan karena kepandaiannya tapi semata-mata karena hajat penguatan post truth yang membentuk hidup mereka. Ini bukan soal benar dan salah tapi soal penguatan identitas dan rasa ingin menyelamatkan dari keterkucilan sosial. Mereka meringkuk dalam delusi post truth.