Skip to main content

Adakalanya figur yang dikenal cerdas dan kritis membuat pernyataan seolah ngawur dan kontroversial. Bahkan terkesan melawan keyakinannya sendiri.

Boleh jadi ia tidak bermaksud melakukan penistaan. Namun berniat mengedukasi dan menajamkan nalar audiens secara radikal melalui satir, misalnya, “Islam bukan agama sempurna”. Ada baiknya, kita tidak keburu bereaksi negatif apalagi menghakimi begitu saja. Kiranya perlu dipahami lebih dulu diskursus yang proporsional agar tahu duduk persoalannya.

Definisi Sempurna

Pertama-tama, harus ditelusuri secara seksama, dua kata kunci yang terkaita dengannya, yaitu sempurna dan agama.

Kata “sempurna” dipahami umum sebagai tak bermakna, utopis, dan imajinal. Sebab, identik dengan makna “Tuhan”. Padahal, setiap entitas punya kriteria dan pakem kesempurnaan sendiri-sendiri.

Banyak pula yang mencurigai kata “sempurna” bertendensi hegemoni, dominasi, dan tirani atau kultus. Sebab, kata itu dipandang melumpuhkan nalar yang mampu membedakan makna general dan fenomen partikularnya dalam realitas.

Kata “sempurna” memuat dua pengertian: absolut atau mutlak dan relatif atau nisbi. Sayang, banyak kalangan yang gagal memahami perbedaan absolut dan relatif dalam khasanah fisika dan metafisika.

Kesempurnaan absolut tanpa bandingan dan batasan, atau kesempurnaan pada dirinya (an sich). Sedangkan kesempurnaan relatif mengandaikan perbandingan dan batasan, atau kesempurnaan dikarenakan sesuatu di luar dirinya.

Kesempurnaan dalam makna absolut maupun relatif bagi semua entitas efektual atau berstatus akibat (dalam ontologi) dan makhluk (dalam teologi) seperti manusia dan semua isi alam ciptaan termasuk kecoak, tidaklah hakiki.

Artinya, makna kesempurnaan absolut Tuhan dan makhluk tidaklah sama dalam aplikasinya. Secara umum, status absolut dan sempurna pada makhkuk tetaplah tidak seabsolut dan sesempurna yang diidealkan karena berasal dari luar dirinya. Karena itulah, acapkali dikatakan bahwa manusia itu relatif.

Fondasi dan Ajaran Agama

Sepanjang sejarah umat Muslim, tidak ada definisi yang baku, disepakati, dan tunggal tentang Islam. Andaikan pernah ada, tentu umat Muslim takkan terdistribusi ke ragam kelompok dan mazhab.

Di sini, agama dapat dipahami dari dua sisi, yaitu sisi material atau konten ajaran-ajarannya, dan sisi formal atau bentuk serta instrumen penunjangnya. Inilah yang disebut dengan fondasi agama.

Ajaran Agama

Alasan umum nyaris semua orang dalam mempertahankan agama adalah klaim kebenaran ajarannya (yang dipahami) sebagai absolut, yang membentuk sikap menolak klaim kebenaran yang berbeda. Kondisi ini berujung pada fakta:

  1. Sebagian besar penganut agama, terutama lapisan awam cenderung beragama secara dogmatik alias diterima dan dijalani begitu saja tanpa pernah kritis mempertanyakan klaim-klaim kebenaran agamanya secara nalar.
  2. Beragama akhirnya identik dengan fanatisme berupa warisan turun temurun dan produk ketelanjuran yang sangat rentan intoleransi dan provokasi ke arah vandalisme hingga radikalisme dan terorisme.
  3. Agama ujung-ujungnya dipahami sebagai fakta empiris hingga aksesoris. Padahal, ia merupakan perkara abstrak yang mendiami hati sebagai keyakinan dan menghuni pikiran sebagai argumen. Ia bukanlah entitas bendawi yang bisa ditunjuk dengan tangan dan diobservasi secara saintifik, sehingga benar dan salahnya ditentukan secara empiris.
  4. Sebagian pihak yang berpikiran bebas berusaha beragama secara kritis dan hanya menerima serta mengamalkan ajarannya setelah argumen yang diterimanya dipandang valid. Bila tak menemukan argumen valid di baliknya, mereka akan mencari, bahkan mempromosikan teori-teori di luar agama. Jargon mereka yang ditengarai sekadar kedok adalah demi pembacaan baru, reinterpretasi, kontekstualisasi, hingga domestikasi agama karena menganggap sebagian ajaran agama dianggap secara liberal sebagai sudah irelevan, tidak kontekstual, tak luput dari kaidah kesementaraan dan lokal, serta profan. Di mata mereka, mempelajari “rasionalitas” setiap ajaran yang maktub dalam teks agama seperti ayat dan hadis hanyalah utopia yang tak mungkin direalisasikan. Setidaknya, tak cukup waktu untuk mendiskusikan dan mempelajari setiap produk agama. Karena itulah, sebagian mereka beralasan untuk tak melaksanakan dulu (menunda) pengamalan ajarannya hingga argumen setiap ajaran agama dipahami, dianggap valid dan diterima.

Keempat fenomena negatif itu semestinya tidak menjadikan alasan untuk menyebut Islam tidak sempurna. Karena antara Islam yang telah berhenti sebagai objek dari dogmatisasi, fanatisasi, empirisasi, dan liberalisasi bukanlah Islam yang melampaui pikiran..

Namun, di sisi lain, dalam kenyataan kita acap menjumpai serangkaian fakta yang seolah bertentangan dengan apa yang kita pahami tentang kekhasan agama:

  1. Sebagian besar ajaran etika universal agama-agama, lantaran berpijak di atas prinsip kesempurnaan dan kebaikan, tidaklah saling bertentangan. Tak ada agama yang menetapkan mencuri dan menipu, misalnya, sebagai tindakan baik. Tak ada pula agama yang menganjurkan bersikap negatif, seperti tidak menghormati orangtua.
  2. Sebagian besar produk hukum dan undang-undang di negara-negara sekular Barat tidak bertentangan dengan ajaran semua agama, kecuali dalam bagian-bagian partikular dan aspek praktis semata.
  3. Sebagian besar isi ceramah dan khutbah yang disampaikan di banyak mimbar berisi anjuran berbuat baik dan larangan berlaku buruk, yang dalam agama lain bahkan dalam hukum etika sekular, juga dianjurkan.

Berangkat dari rangkaian fakta itu, lantas, apakah ajaran semua agama itu sama? Tentu tidaklah sama. Sebab, terdapat perbedaan yang cukup kontras dalam detail ajarannya.

Namun, apakah logis jika klaim kebenaran suatu agama dipertahankan? Dikatakan logis bila alasan untuk mempercayainya terbilang kuat. Ini berlaku dalam semua premis yang didasari logika biner dalam bidang matematika dan sains.

Lebih radikal lagi, logiskah mengklaim kebenaran suatu agama yang dianut?

Jelas, apapun yang kita percayai, baik itu agama atau info apapun, tak lain dari klaim kebenaran dan penolakan terhadap “yang lain”, baik secara eksplisit bahkan vulgar maupun implisit atau diam-diam.

Kendati begitu, perlu dijawab pertanyaan mendasar lainnya: Apa alasan logis untuk mempertahankan dan menganut suatu agama? Yang pasti bukan karena produk dan ajarannya.

Tentu tidak masuk akal jika seseorang memastikan rumahnya sebagai yang terbaik dalam sebuah kompleks perumahan. Sebab, memang rumahnya sendiri yang ditempati. Klaim “rumah terbaik” bukan hasil dari perbandingan berdasarkan parameter yang jelas terhadap seluruh rumah dalam kompleks sebelum dipilih dan ditempati.

Lantas, apa alasan logis dan relevan untuk menganut agama?

Bila merasa perlu mempertahankan suatu agama, mungkin satu-satunya alasan logisnya adalah konsep tentang kesempurnaan yang melahirkan aksioma kewenangan atau otoritas vertikal, bukan produk ajarannya.

Bila ajaran agama dianggap benar hanya karena tertulis dalam kitab suci al-Quran dan hadis, maka banyak perbuatan baik terabaikan dan orang-orang yang dirundung kesulitan tersia-siakan karena dianggap tak dianjurkan. Karena itulah banyak orang berlomba-lomba menyantuni anak-anak yatim, namun mengabaikan anak terlantar atau anak jalanan lantaran tak ada satu pun anjuran al-Quran secara harfiah untuk menyantuni mereka.

Agama Tak Sempurna

Secara teologis, setiap agama hadir untuk menyempurnakan ajaran agama sebelumnya. Namun secara historis, agama hadir untuk merevisi atau mengoreksi “disinformasi” dan manipulasi yang dialami ajaran sebelumnya. Setelah melewati aneka hambatan dan penentangan, sekelompok orang menganut agama lantaran percaya bahwa Tuhan adalah pengatur tunggal. Pembawa agama dimaksud lantas dielu-elukan karena diyakini sebagai figur yang direkomendasikan sentra otoritas sublim untuk menggembala dan memandu mereka menuju kemuliaan, kesucian, dan kesempurnaan. Figur-figur tersebut muncul silih berganti membawa tawaran dan janji yang nyaris sama. Umat manusia pun jadi bingung.

Sejak diperkenalkan kepada umat manusia sebagai aturan yang dapat mengonstruksi masyarakat yang kompak, beradab, dan terpimpin dengan keyakinan utuh karena sumbernya satu, sehingga kondisinya jauh lebih baik dari masyarakat sebelumnya, maka tak satu pun masa pun menjadi fakta aktualnya kecuali beberapa waktu sebelum tokoh utama yang memperkenalkannya mangkat dengan semua pertentangan internal dan gangguan eksternal. Namun hingga kini tak ada satu pun fakta masyarakat yang terpimpin dalam keutuhan dan kesamaan, baik dari segi pemahaman maupun pengamalan ajarannya.

Sejak pendirinya wafat, sebagaimana dicatat sejarah, para pemegang kekuasaan selepasnya rata-rata tangannya bau anyir darah genosida terhadap kelompok yang dicap “pembangkang”. Mereka yang terdiri dari para manusia teladan, kaum bijakawan, filosof, dan mistikus tanpa ampun terus diburu, dibersihkan, disekap, dipersekusi, hingga kepalnya dicungkil dari batang lehernya. Tak hanya itu, dimulai pula ekspansi, invasi, aneksasi, hingga kolonisasi terhadap wilayah lain yang faktanya diperhalus hingga dikaburkan dengan istilah “perluasan agama”. Lagipula, masa kelam kekuasaan para tiran berjubah agamawan juga diglorifikasi sebagai masa kejayaan atau zaman emas (golden age) yang umumnya menjadi ilusi kaum radikal dan teroris.

Akibat terus terjadinya tawuran antar pemahaman dan sengketa klaim seputar otoritas, terutama sumber otoritatif yang merepresentasi ajarannya, termasuk bahkan dalam identifikasi dan dokumentasi teks-teks referensialnya, masyarakat agama yang ideal tak jua terbentuk.

Fondasi Agama

Bagi penganut agama, semestinya kesempurnaan agama yang dianut merupakan salah satu atau bahkan satu-satunya alasan untuk menganutnya. Agama ini secara historis, seyogianya diyakini para pemeluknya sebagai penyempurna dan korektor ajaran agama-agama sebelumnya sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran. Bila tidak diyakini sempurna, tentu agama dimaksud tidak dapat diyakini mampu menyempurnakan manusia. Bila tak menyempurnakan manusia, maka lenyaplah alasan memeluknya. Dengan begitu, bagi selain penganutnya, jelas sudah agama itu tidak sempurna, bahkan tidak valid alias palsu. Bila diyakini sempurna dan benar-benar diturunkan oleh Tuhan, tentu mereka akan ikut menganutnya. Di sini, menjadi terang benderang, bagaimana suatu agama itu sempurna lantaran kebenarannya ditentukan oleh aksioma logis yang menjadi fondasinya, yaitu otoritas.

Agama ini dalam dimensi formalnya sudah dinyatakan sempurna oleh Allah setelah otoritas vertikal ditetapkan sebagai jaminan keterjagaannya. Tapi bila dipisahkan dari otoritas vertikal, maka agama hanya akan menjadi kotak saran dan arena pertandingan klaim otoritas antar sesama yang sama-sama tak punya otoritas. Nasibnya mirip agama lain yang dianggap mengalami distorsi dan gagal membentuk masyarakat. Situasi ini dapat diilustrasikan dengan perkelahian sesama pasien di sebuah rumah sakit karena berebut klaim otoritas sebagai dokter setelah dokter yang asli ditolak sebagian besar pasien seraya mengabaikan sebagian kecil pasien yang sejak semula justru hanya mau berobat ke dokter asli.

Manusia Sempurna

Idiom “no body’s perfect” sekilas masuk akal. Tapi bila diperhatikan lebih seksama, kalimat itu mengungkap nihiliisme, absurdisme, dan lenyapnya makna hakiki “manusia”.

“No body’s perfect” menjadi tak bermakna bila “perfect body” tidak eksis. Tak ada “tak sempurna” bila tak ada “sempurna”.

Sebagian kelompok yang menolak ide aksiomatik “manusia sempurna” dan “kesucian” (disebut kemaksuman dalam khasanah teologi) dengan dalih “tak ada manusia sempurna” justru terjebak dalam sengketa berabad-abad dan konflik tak berujung karena saling klaim otoritas dan saling tuntut kepatuhan tanpa basis keunggulan (kesempurnaan relatif).

Karena gemar berapologi dan enggan mengubah diri, “tak ada manusia sempurna” menjadi kata sakti untuk bersembunyi dan memproteksi diri dalam kubangan nihilisme.

Akibat tak gagal paham terhadap makna ideal “kesempurnaan”, banyak orang enteng berseloroh “tak ada manusia sempurna”.

Klaim tak ada manusia sempurna (dalam pengertian kesempurnaan sebagai manusia) justru menafikan adanya “manusia” sama sekali.

Sering pula kata relatif (yang diartikan turun temurun sebagai antonim dari “sempurna”) dipakai serampangan demi menolak norma, pakem, dan batasan rasional sekaligus menghindari konsekuensinya.

Manusia Suci

Makna kesempurnaan secara esensial sebangun dengan kesucian.

Dihadirkannya manusia-manusia suci agar kita tidak silau dengan manusia yang tidak suci, apalagi intoleran, terlebih yang hobi mengkafirkan para pecinta manusia-manusia suci, entah ia bergelar habib, kyai, atau lainnya.

Konsekuensi keyakinan terhadap kesucian para insan yang diyakini sebagai imam adalah menjadikan para manusia suci itu tolok ukur, model prima, dan penangkal kultus (pemujaan tak dilandasi akal sehat).

Manusia-manusia suci dihadirkan agar umat manusia menduplikasinya. Bila tidak suci, tak ada obligasi logis untuk menduplikasinya. Na, krisis kemanusiaan diukur dari konteks ini.

Akibat tidak meyakini adanya manusia sempurna, sebagian oknum malah menjadikan manusia yang setara kualitasnya sebagai panutan taken for granted. Menolak imam dan manusia suci justru menyeretnya pada tendensi meng-imam-kan orang yang selevel. Akibatnya, jumlah imam dan manusia suci dalam masyarakat yang menolak eksistensi manusia suci, jauh lebih banyak dari jumlah manusia suci yang sejak semula diyakini sebagai prototip manusia alias manusia-manusia ideal dan suci demi menjamin idealitas dan kesucian agama.

Kesimpulan

Kesempurnaan suatu agama ditentukan oleh sisitem otoritas nan sempurna. Otoritas nan sempurna meniscayakan pula kesempurnaan pembawa dan pengawalnya. Itulah manusia (sempurna) yang menjadi model nyata sekaligus manifestasi kongkret dari ajaran agama. Manusia sempurna menjamin kesempurnaan ajarannya, bukan sebaliknya. Inilah struktur logis beragama sekaligus sikap rendah hati di hadapan agama.