Isu Palestina dan Relevansinya dengan Indonesia Saat ini

Isu Palestina dan Relevansinya dengan Indonesia Saat ini
Photo by Unsplash.com

Dalam rangka memperingati 60 tahun pembasmian etnik di Palestina, pada 14-15 Mei 2008 Indonesia akan menjadi tuan rumah International Conference dengan tema Freedom and Right of Return. Gawe besar yang diprakarasai oleh LSM Voice of Palestine ini akan diselenggarakan di Aula Makara UI Depok. Sejumlah tamu undangan dari 15 negara, termasuk Amerika, Inggris dan Australia, telah datang.

Dalam konferensi pers menjelang konferensi internasional tersebut di hotel Kaisar, seorang wartawan mempertanyakan relevansi dan urgensi konferensi internasional ini dengan situasi nasional Indonesia yang sedang genting akibat kenaikan harga BBM sebagai dampak langsung dari melonjaknya harga minyak dunia.

Pertanyaan tersebut sangat tepat dilontarkan karena dalam situasi ekonomi lokal yang kacau demikian, kita kadang kesulitan untuk mencari justifikasi rasional yang bisa meyakinkan kita tentang pengaruhnya bagi penyelesain situasi ekonomi negara kita yang berada dalam jarak geografis yang sangat jauh dengan Palestina dan Timur Tengah. Dengan kata lain, seloroh “Apa keuntungannnya mengurusi bangsa lain bagi bangsa Indonesia yang sedang antri untuk dapat minyak tanah” memerlukan sebuah penjelasan yang tidak sederhana.

Konferensi ini berbarengan dengan dua momentum nasional, yaitu 10 tahun reformasi dan 100 tahun Kebangkitan Nasional. Reformasi yang digerakkan oleh mahasiswa dan didukung oleh sejumlah tokoh nasional makin tidak jelas arahnya, bahkan sebagian menganggapnya telah berhenti di jalan buntu.

Di sisi lain peringatan dan semboyan Kebangkitan Nasional mulai kehilangan spiritnya karena arus globalisasi budaya dan liberalisme ektrem telah menggerus semangat dan kebanggaan nasional yang telah dipatri oleh para pendiri negara. Nasionalisme menjadi kehilangan daya tarik karena telah digunakan sebagai alat pembenaran bagi Orde Baru untuk mengekalkan dominasi dan kekuasaan. Peristiwa-peristiwa tragis berdarah yang terjadi sepanjang sejarah bangsa ini sejak proklamasi kemerdekaan mulai dari pembasmian G 30 PKI, tragedi Priuk dan Lampung, kerusuhan Mei hingga konflik horisontal di Sampit, Poso, Aceh dan Ambon telah mendistorsi pemahaman tentang nasionalisme dan mengubahnya menjadi lokalisme bahkan sukuisme yang membabibuta. Ironis. Eropa yang makmur dan besar malah bersatu dalam satu sistem monter dan militer. Sementara kita menuju ke arah distingegrasi. Pembakaran dan pembunuhan massal menjadi fenomena “lumrah” hanya karena perbedaan-perbedaan elementer.

Ada empat jenis negara dan bangsa di dunia ini, Pertama, negara makmur namun tidak terhormat. Kedua, negara tidak makmur dan terhormat. Ketiga, negara tidak makmur dan tidak terhormat. Keempat, negara makmur dan terhormat.

Negara makmur tapi tidak terhormat adalah negara yang dihuni oleh masyarakat konsumeris, glamour, mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikian gratis, jaminan sosial dan sebagainya. Namun tidak punya kedaulatan. Haluan politiknya tidak mandiri.

Negara terhormat tapi tidak makmur adalah negara yang dihuni oleh bangsa yang rela hidup sederhana, rela tidak punya mall, dan kotanya tidak gemerlap dengan gedung-gedung menjulang, mobil-mobilnya tidak banyak berbeda merek. Tapi tidak rela sedetikpun menjadi kaki tangan bangsa lain. Pendirian politiknya kokoh. Pemerintahnya berani mengambil keputusan besar demi kemandirian dalam segala bidang dalam jangka lama. Embargo, sanksi dan ancaman perang tidak menggoyahkannya.

Negara tidak terhormat dan tidak makmur adalah negara yang dipimpin oleh koruptor atau orang-orang yang tidak mampu mengambil sikap tegas demi kehormatan bangsa dan rakyatnya. Politiknya membeo. Konsep ekonominya amburadul. Penegakan hukumnya payah. Sebagian rakyatnya kejangkitan individualisme sehingga menciptakan kesenjangan sosial yang berujung pada anarkisme dan meningkatnya kriminalitas. Sebagian lain kejangkitan hedonisme, terbuai dengan SMS kuis demi menjadi kaya dadakan, menghibur diri dengan gaya hidup artis dan selebirits. Sebagian lain mencari klenik demi mengatasi persoalan hidup. Sebagian lain menjadi korban ketidakadilan dan keserakahan para pengusaha dan perusahaan asing yang diuntungkan oleh perjanjian investasi yang tidak masuk akal.

Apa yang dilakukan oleh negara-negara lain, yang sama dengan Indonesia, seperti Iran, Venezuela dan lainnya semestinya dapat dijadikan cermin yang bisa menyadarakan kita bahwa menjadi terhormat jauh lebih mudah ketimbang menjadi makmur di tengah sistem ekonomi dan politik global yang sadis seperti sekarang ini.

Demi membela keadilan dan melawan hegemoni imperialis, Iran, negara yang semestinya bisa hidup makmur, mesti bersusah payah mengucurkan sebagian APBNnya untuk mendanai pemerintahan HAMAS yang dicekik oleh negara-negara Islam dan Arab lainnya. Iran, yang non Arab dan non Sunni, rela mengahadapi sanksi Amerika dengan stempel DK PBB dan propaganda internal (sebagian Muslimin jumud) yang tak henti-hentinya menghembuskan isu permusuhan sektarian.

Tanpa perlu meminta dikasihani atau diapresiasi, Ahmadinejad berjanji akan memberikan teknologi nuklir damainya kepada negara-negara lain. Tapi apa mesti dikata, teriakan presiden berpenampilan “gembel” itu lenyap ditelan kebisingan diplomasi, omong kosong dan verbalisme palsu yang disemburkan oleh corong-corong media FOX, CNN dan lainnya.

Salah satu cara menunjukkan nasionalisme adalah membela hak bangsa lain yang dirampas. Isu Palestina bisa dilihat dari pelbagai perspektif. Antara lain perspektif kemanusiaan. Ia juga merupakan isu kemanusiaan karena diiringi oleh perilaku rasialis Zionis yang membunuh sesama manusia hanya karena berbeda agama, merampas tanah dan kebebasannya melalui pembantaian massal paling sadis, membunuh anak kecil dan perempuan, merobohkan rumah, merampas harta benda dan mengusir penduduknya dari kampung halaman mereka. Ia juga merupakan isu nasional bagi warga Palestina yang memiliki hak sebagaimana bangsa lain di atas muka bumi untuk hidup di tanah air dengan bebas dan berdaulat dan mempertahankannya demi melawan musuh dan membebaskannya dari mereka.

Sebagai bangsa yang memiliki sejarah budaya ketimuran yang menjunjung tinggi toleransi dan anti kezaliman, kita berpeluang untuk bergabung dengan bangsa-bangsa dan negara-negara terhormat di dunia. Kita mungkin akan sulit untuk mengatasi krisis ekonomi dalam jangka pendek, namun mencontoh kemadirian dan nasionalisme yang yang diperlihatkan oleh Ahmadinejad, Huga Chavez dan pejuang-pejuang kerakyatan lainnya, bangsa Indonesia bisa menjadi makmur sekaligus terhormat.

Kehendak untuk menjadi terhormat di hadapan bangsa lain memang sudah terpatri dalam dada kita, namun kita harus menunjukkannya secara lebih atraktif dengan membangun sistem ekonomi yang mandiri, politik yang strong dan kerelaan untuk menunda kemewahan artifisial, individual dan temporal demi kemakmuran jangka panjang yang lebih merata.

Merdeka!

Read more