Skip to main content

Beberapa waktu lalu saya diminta seorang teman untuk melihat sebuah klip video rekaman dialog atau wawancara di sebuah televisi dakwah (yang saya hormati karena dikelola oleh figur yang saya hormati).

Dalam tayangan itu saya mendengarkan dengan seksama pendapat-pendapat yang dilontarkan oleh narasumber yang saya kenal sangat kompeten dalam kajian tafsir dan hadis.

Secara umum, video wawancara itu menyoroti isu “pemimpin non muslim” dari perspektif tafsir nasasumber tentang ayat yang memuat kata “wali” dan “awliya’” juga “yatawalla”. Baca juga: Pemimpin Non-Muslim

Saya telah menulis tanggapan tentang ini dalam artikel WALI DAN ANATOMI MAKNANYA beberapa waktu lalu. Kini saya merasa perlu menulis artikel lanjutan sebagai tanggapan atas argumen yang dikaitkan dengan isu “pemimpin non Muslim” dengan mengulas ayat Muhkamat dan Mutasyabihat.

Artikel ini ditulis semata-mata demi memberikan perimbangan seraya mengajak kita semua membuka ruang penafsiran alternatif dalam arena pemahaman yang relatif dan demi memahamkan umat Islam tentang pentingnya melapangkan dada untuk tetap saling menghormati. Saya harus berterimakasih kepada seseorang yang saya cintai karena tanpa dia, tulisan yang membahas tema sensitif ini tidak bisa hadir dalam waktu singkat. Baca juga: Syiah Indonesia dan Sikap Terhadap AHOK

Ada pendapat bahwa semua ayat yang diawali dengan “Yaa ayyuhalladziina aamanuu” (يا ايها الذين آمنوا) adalah ayat Muhkamat dan mustahil mengandung “tasyabuh” atau keraguan. Pendapat ini didasarkan pada alasan bahwa jika ada kesamaran atau keraguan maka manusia pada hari akhir akan mempertanyakan pada Allah dan menggugatNya karena perintah dan laranganNya berisikan sesuatu yang masih membingungkan. Pendapat tersebut dilihat dari berbagai sisi tidak benar.

Pertama:
Tidak semua ayat yang diawali dengan “Yaa ayyuhalladziina aamanuu” adalah ayat Muhkamat. Salah satu contohnya adalah satu-satunya ayat yang berbicara tentang wudhu dalam al-Qur’an diawali dengan “Yaa ayyuhalladziina aamanuu”.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

Ayat tersebut ditafsirkan secara berbeda oleh dua mazhab besar dalam Islam, yaitu Ahlussunah waljamaah dan Imamiyah.

Perbedaan Penafsiran tentang ayat tersebut minimal terjadi pada 3 kata di dalamnya, yaitu pada kata “Marafiq”, “Arjulakum” dan “Ka’bayn”.

Bila ayat ini dikategorikan sebagai ayat Muhkamat hanya karena diawali dengan “Yaa ayyuhalladziina aamanuu” maka konsekuensinya adalah bahwa suatu hal yang diklaim sebagai mustahil atau tidak mungkin terjadi, bisa diterima dan berlaku secara faktual. Dengan kata lain, para ulama salah satu dari dua mazhab besar umat Islam sejak abad kedua hingga saat ini gagal memahami ayat Muhkamat atau, paling tidak, para Islam secara umum gagal memberikan satu makna untuk sebuah ayat (yang mestinya -sesuai klaim pendapat yang menegaskan kemuhkaman setiap ayat yang diawali dengan “ya ayyuhalladzina amanu”).

Kedua:
Tidak semua ayat yang diawali dengan “Ya Ayyuhalladzina amanu” mengandung perintah dan larangan. Karena itu tidak ada kemungkinan timbul pertanyaan umat manusia kepada Allah atas perintah dan laranganNya yang (diasumsikan) membingungkan. Pada kenyataannya ada ayat yang diawali dengan “Ya ayyuhalladzina amanu” yang hanya berisi penjelasan tentang suatu hal seperti: firmanNya dalam surah Attaubah ayat 34:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۗ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.”

Hal ini juga terdapat dalam Surah Muhammad pada ayat 7:

أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ

Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”

Dengan demikian, bisa dipahami bahwa hal tersebut tidak bisa dijadikan dasar klaim keharusan ayat yang diawali “ya ayyuhalladzina amanu” sebagai ayat Muhkamat.

Ketiga:

Semua ayat yang memuat masalah hukum baik yang diawali dengan “ya ayyuhalladzina amanu” maupun tidak, selama ditafsirkan secara beragam bukanlah “ayat muhkamat”, namun “ayat mutasyabihat”, karena muhkam ditentukan nash sharih yang tidak memungkinkan munculnya multitasfsir. Namun detail makna yang terkandung dalam ayat muhkamat bisa ditafsirkan secara berbeda. Disebut muhkamat, karena nash atau teksnya jelas dan tegas mengkonfirmasi satu makna. Sedangkan ayat mutasyabihat adalah ayat yang nashnya mengundang aneka penafsiran, baik diawali dengan “ya ayyuhalladzina amanu” maupun tidak, baik memuat masalah hukum maupun tidak. Itulah yang melatarbelakangi tumbuhnya aneka mazhab bahkan aneka tafsir dalam satu mazhab. Karena ayat larangan menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai wali (yang diklaim sebagai muhkam dengan satu arti, yaitu pemimpin, karena diawali dengan “ya ayyuhalladzina amanu“) dianggap muhkam yang diartikan monotafsir, maka orang-orang yang menganggap ayat perintah berwudhu yang diawali dengan “ya ayyuhalladzina amanu” dengan (pemahaman mazhab Sunni), menganggap wudhu berdasarkan tafsir yang dipilih Imamiyah sebagai salah.

Inilah yang membuat orang-orang yang menunggalkan arti “wali” untuk pemimpin gampang mengkafirkan orang yang mengambil tafsir lain.

Keempat:
Al-Quran memang tidak ditentukan untuk berjalan sendiri tanpa ada yang bertugas memandu atau menjelaskan. Jika kita asumsikan semua ayat yang diawali dengan “Yaa ayyuhalladziina amanuu” itu tidak jelas, maka tetap tak ada tempat bagi manusia untuk bertanya ataupun protes kepada Allah. Hal itu dapat dijelaskan dengan adanya pesan tegas Rasulullah yang meninggalkan untuk umatnya dua pusaka yaitu AlQur’an dan Ithrahnya, bukan hanya Al-Qur’an saja. Ithrah Nabi yang dimaksud adalah mereka yang diberi otoritas oleh Allah untuk menjelaskan Al-Qur’an. Karenanya selama berpegangan kepada keduanya maka tidak akan tersesat.

Kerancuan memaknai ayat Muhkamat dan Mutasyabihat Inilah yang menyebabkan sebagian yang berpegang pada pendapat ini menjadi sangat keras dalam bersikap terhadap saudara muslimnya yang berbeda pemahaman tentang ayat 51 dari surah al-Maidah.

Orang-orang penganut “monopoli tafsir” di tengah umat yang majemuk kerap melemparkan tudingan demi tudingan bahkan ujaran kebencian karena tidak lagi menganggap sedang berhadapan dengan sesama saudara muslim, tetapi merasa sedang menghadapi para munafikin atau penentang Allah dan al-Qur’an yang harus dilawan bahkan dilaknat. Salah satu dasar sikap intoleran itu adalah pemutlakan tafsir yang relatif pemahaman yang salah kaprah tentang ayat Muhkamat Dan Mutasyabihat.

Nyata sekali bahwa kata awliya dalam ayat yang dijadikan pegangan ditafsirkan secara berbeda oleh mufassirin. Pendapat yang paling kuat dalam penafsiran kata awliya dalam ayat tersebut adalah yang justru yang bermakna teman. Ayat tersebut sama sekali tidak berisi larangan untuk memasrahkan suatu pekerjaan kepada ahli dalam satu bidang hanya karena orang itu adalah seorang ahlulkitab yang hidup diantara umat Islam.

Akhirnya, setiap orang berhak menikmati tafsir pilihannya tentang ayat 51 al-Maidah dan mengambil sikap terhadap seorang calon pemimpin tanpa menuduh orang yang memilih tafsir lain sebagai munafik dan ragam stigma negatif lainnya.

Semoga Allah menganugerahi kita ilmu yang bersanding dan hikmah. 

Dr. Muhsin Labib

______________________
Didistribusikan kembali dari sumber awal
https://seword.com/pendidikan/menyoroti-ayat-muhkamat-dan-mutasyabihat-terkait-isu-pemimpin-non-muslim/