Isu Santet: Potret Primitif Masyarakat Kita?

Isu Santet: Potret Primitif Masyarakat Kita?
Photo by Unsplash.com

santet.jpg

Salah satu fenomena menarik sekaligus menakutkan, yang entah sejak kapan menjadi bagian dari kehidupan sosial kita, adalah ‘santet’.

Ia adalah sebuah praktek magis yang diyakini mampu memberikan gangguan fisik dan mental kepada objek karena kebencian, kecemburuan dan lainnya melalui sperangkat alat khas yang dilakukan setan atau roh jahat. Ia juga dikenal dengan istilah guna-guna dan teluh.

Umumnya sumbu pertama ‘isu santet’ adalah mulut orang yang memposisikan diri sebagai korban yang dimengaku dijangkiti sejenis penyakit 'aneh', seperti perut membusung, penyakit yang tak kunjung sembuh. Ia akan menunjuk nama seseorang yang dikenalnya karena melihat wajahnya dalam mimpi atau menemukan benda yang mengingatkannya pada seseorang yang dikenalnya.

Bisa ditebak, pengakuan ini segera menyebar menjadi isu dan opini yang dengan cepat tanpa verifikasi atau tabayyun menyulut kemarahan tak terkendali dan anarki berdarah.

Beberapa tokoh masyarakat mengambil langkah bijak, dengan menengahi penuduh dan tertuduh melalui pelaksanaan sumpah pocong, demi meredam keresahan sekaligus aksi anarkisme.

Sumpah pocong adalah simulasi kematian yang dijalani oleh seorang yang menolak tuduhan penyantet dengan konskuensi akibat-akibat buruk yang akan dideritanya bila berdusta. Sebaliknya, penuduh juga akan mengalami akibat yang sama bila tertuduh tidak berdusta. Singkatnya, ia adalah sebuah ritual yang dijadikan sebagai proses peradilan supranatural yang jelas-jelas sulit dimasukkan dalam KUHP negara yang menganut yurisprudensi positif.

Namun tidak semua kasus isu ‘santet’ dapat diredam dengan sumpah pocong dan meredam aksi anarki.

Selain sumpah pocong, Eksodus dari tanah kelahiran juga dinilai sebagai 'jurus' ampuh untuk meredam emosi massa yang telanjur percaya pada hal supranatural tersebut. Sebagian besar tertuduh dan keluarganya harus rela hengkang meninggalkan kampung halamannya saat masyarakat 'sepakat' menudingnya sebagai pemilik ilmu teluh.

Cara lain adalah berlindung ke rumah kyai atau pesantren yang dikelolalanya. Para santri akan melakukan penjagaan ekstra demi melindungi nayawa tertuduh dan keluarganya, meski rumah dan harta bendanya musnah oleh amuka massa.

Namun eksodus atau berlindung ke rumah tokoh agama, tidak sepenuhnya efektif untuk meredam maraknya tudingan santet berserta ekses yang mengikutinya.

Ada yang tidak sempat berlindung, eksodus atau melakukan sumpah pocong. Ia harus rela menghadapi kenyataan pahit, setelah seluruh bangunan rumahnya dirusak dan dirobohkan beramai-ramai ratusan warga, karena dituding penyebab kematian sejumlah tetangga atas ilmu santetnya. Ada yang malah kehilangan nyawa dengan luka bacok di sekujur tubuh di hadapan istri dan anak-anaknya.

Yang menambah rasa pilu, umumnya tertuduh adalah orang yang rajin shalat di mushalla, guru ngaji, dan bahkan kyai.

Ironis! rajin tahajud dan bangun tengah malam malah bisa menjadi alasan bagi sebagian warga setempat untuk memberikan stigma ‘tukang santet’.

Efektifitkah pelaksanaan sumpah pocong untuk meredam aksi anarki dan aksi main hakim di tengah masyarakat kita? Pertanyaan yang lebih penting, santet, hanya kebodohan massal ataukah fakta?

Read more