Menganut sebuah keyakinan karena pilihan mestinya menumbuhkan kemantapan hati dan kestabilan jiwa meski sendirian.
Keyakinan yang dianut harusnya tidak malah membuatnya gelisah sehingga berusaha memadamkan kegelisahan itu dengan memperbanyak orang yang menganut keyakinan yang sama dengannya. Mestinya peyakin sejati tidak membangun kemantapan dengan memastikan banyaknya orang yang sekeyakinan dengan dirinya sebagai parametrr kebenaran agama atau mazhab yang dipilihnya
Orang yang keburu menganut sebuah keyakinan karena argumen-argumen elementer apalagi karena alasan emosional mengalami kebimbangan saat dituntut untuk mematuhi ajaran2 dalam keyakinan yang baru dianutnya, padahal dia tak menduga keyakinan itu memuat ajaran itu dan menuntut kepatuhannya.
Karena tidak siap dengan konsekuensi-konsekuensinya yang sangat berat, tapi juga malu untuk menyatakan diri keluar atau melepaskan keyakinan itu, dia mulai mengurangi intensitas mempelajari lebih jauh keyakinan itu. Setelah itu, ia mulai mengendap-endap meninggalkan komunitas itu. Beberapa waktu setelahnya, dia bahkan memutuskan segala bentuk komunikasi dan interaksi dengan sesama keyakinannya dan melepaskan diri dari semua aktivitasnya.
Dia salah memilih. Dia keburu mengisi formulir registrasi tanpa mempelajari secara seksama persyaratan dan konsekuensi-konsekuensinya. Dia mengira menganut sebuah keyakinan tidak berbeda jauh dengan pindah partai atau bahkan seperti ikut grup arisan dengan komitmen temporal. Di ujung kegamangan karena tak menganut secara tegas sebuah keyakinan, ia jadi rumit. Statusnya tidak jelas dan ambivalen. It’s complicated…