JANGAN RENDAHKAN AGAMA SENDIRI DEMI PILIHAN POLITIK
Ada tiga sikap dan respon manusia terhadap apapun, yaitu menerima, menolak dan meragukan. Tak ada yang keempat.
Dalam kancah politik, menerima diungkapkan sebagai mendukung, dan menolak dicerminkan sebagai menentang. Abstein lazim disebut golput. Sejauh itu adalah hasil capaian pengamatan, setiap warga boleh memilih salah satu dari tiga sikap itu. Tapi yang perlu disoroti adalah sikap ekstrem mendukung dan menolak.
Salah satu tanda pandangan irrasional adalah meyakini atau menolak secara ekstrem dan kaku.
Yang terlihat mendukung pihak tertentu secara mati-matian terduga sedang mendukung diri sendiri karena terlanjur mendukungnya tanpa pertimbangan. Mempertahankan ketelanjuran merupakan pemenuhan kebutuhan utama sebagian orang, yaitu kebutuhan menghadirkan diri dalam arena publik.
Pemenuhan kebutuhan naluri hewani yang tercermin dalam pandangan dan sikap ekstrem dan bercorak absolutisme mendorong seseorang untuk siap berpolemik, bermusuhan bahkan berperang untuk sebuah pilihan yang biasa-biasa saja.
Pada hakikatnya yang diperjuangkan bukanlah pilihan politik juga bukan kepentingan politiknya, tapi lebih mendasar dari itu, dirinya atau ego serta gengsinya. Karena itu, bila merasa benar, menyerang orang lain yang sepilihan, Bila pihak lawan terbukti melakukan kesalahan, dia akan kerahkan semua bisa norma etika, agama dan hukum untuk melibasnya tanpa secuilpun iba. Bila dia sendiri atau orang sepilihannya terbukti salah, dia berkelit dan membedakinya dengan retorika apologetik yang menggelikan. Ia bisa dipastkkan sulit melemparkan handuk putih dan menyerah. Pilihan ini memang berbungkus politik tapi pada substansinya lebih penting dari agama baginya. Agama, Nabi bahkan Tuhan pun bisa dikorbankannya atau direduksi dalam pernyataan serampangan agar bisa dijadikan sebagai pembenar kesalahannya.
Sedangkan yang terlihat mendukung secara proporsional biasanya mendukungnya karena alasan-alasan yang dianggap rasional sembari membuka celah kemungkinan lain bila syarat-syaratnya terpenuhi. Orang rasional mendukung tapi tak lebay atau menolak minus nyinyir.
Karena yang didukung dan yang ditentang dalam arena politik bukan Tuhan, bukan utusanNya dan bukan pula manusia-manusia suci pilihanNya, mestinya tak memperlakukannya sebagai mutlak dan tak bersikap kaku. Artinya, dukungan dan tolakan politik haruslah proporsional dan bersyarat alias nisbi.