JELANG GENOSIDA KARBALA
Desir sahara bertalu-talu mengelus pucuk-pucuk tenda melantunkan simponi duka nestapa. Semua persediaan air, untuk minum dan menangis, sejak lama telah habis! Al-Husain kini berada di puncak kekecewaan.
“Kemarilah Zainab, Sukainah, Ruqayah, Shafiyyah, dan keluarga ku! Salam dariku, abangmu, pamanmu dan suamimu untuk kalian semua! Inilah pertemuan terakhir kita. Inilah detik-detik terakhir dari masa kebersamaan kita. Sedangkan pesta tangis dan duka akan segera dimulai. Bersiap-siaplah untuk memasukinya!” seru cucunda Rasul itu sembari menyeka mata dan hidungnya yang merona.
“Al-Husain, aku khawatir kau menyerah pada maut,” sela Ummu Kultsum dengan suara lemah.
“Adikku, mungkinkah seorang yang telah melihat putra-putranya gugur dan para prajuritnya terbunuh, tak unyai pembela dan pasukan seperti aku tak siap mati?” balas al-Husain dengan dada terguncang.
“Kalau begitu, pulangkanlah kami ke kota Madinah di sisi kakek (Rasulullah)!” pinta Ummu Kultsum yang disusul tangis.
Al-Husain merangkul sayang adiknya seraya berkata,
“Tidak, adikku, tidak mungkin itu terjadi!”
Seketika Sukainah menjerit dan meronta-ronta dalam tangisan panjang.
Al-Husain menghampirinya lalu merangkul dan mengecup matanya yang sembab sambil bertutur dalam puisi sendu:
Adikku, seruling duka akan ditiup Semerbak surga abadi akan kuhirup Genderang perang segera ditabuh Perahu cinta akan segera berlabuh Jangan sesali diri atau membisu Jangan mengoyak rambut dan baju Relakan kepergian kakakmu Andai aku mati kau selalu di hati
Al-Husain mengenakan baju laga, melilitkan sorban datuknya, dan pedang Dzul-fiqarpun di genggamnya. Para wanita berangkulan menanti saat paling mengharukan, al-Husain melambaikan tangan perpisahan. Sukainah hendak mengejar, namun tangan Zainab meraihnya.