JESUS, FIRMAN TUHAN (Bagian 3)

JESUS, FIRMAN TUHAN (Bagian 3)
Photo by Unsplash.com

Wawasan lebih mendalam lagi tentang berbagai perbedaan Islam dengan agama lain, termasuk Kristen, dapat dijumpai dalam tulisan-tulisan Frithjof Schuon (setelah memeluk Islam bernama Syekh ‘Isa Nur ad-Din Ahmad). Ia, misalnya, menghadirkan Kristologi perspektif sufiisme dalam Islam and the Perennial Philosophy. (Lahore: Suhail,1985) Dalam The Muslim Jesus: Sayings and Stories in Islamic Literature (Harvard University Press, 2003), Tarif Khalidi mengumpulkan pelbagai referensi Islam tentang Yesus, mulai dari abad ke-8 sampai ke-18. Semua itu mencakupi karya-karya mistik, teks-teks historis para nabi dan orang-orang suci (wali), serta seleksi hadis dan ayat al-Qur’an. Dalam catatan Khalidi, tulisan-tulisan ini membentuk sebuah pola terbesar teks-teks yang berhubungan dengan Yesus dalam literatur non-Kristen.

[ads1]

Mungkin salah satu cara terbaik umat Kristen dapat menemukan landasan dalam berdialog dengan umat Islam adalah mengenal potret seorang Yesus yang terdapat dalam sumber-sumber Islam, yang terpenting adalah dari Al-Qur’an dan hadis, tanpa perlu mempermasalahkan apakah orientasi relijius seseorang.

Sebagian umat Kristiani mungkin akan menolak hal-hal yang berkenaan dengan Yesus dalam narasi Islam. Perdebatan utama dalam Kristologi kontemporer di kalangan umat Kristiani berpusat pada apakah penelitian sejarah Yesus relevan dengan agama? Atau, apakah pengetahuan tentang Yesus membutuhkan perhatian atas peran yang dimainkannya dalam konteks Gereja dan teologi? Narasi Islam, berabad-abad sesudah masa hidup Kristus (dan dalam beberapa peristiwa, lebih seabad setelah masa hidup Muhammad saw) juga akan ditolak umat Kristiani liberal yang mencari potret Yesus berdasarkan tolok ukur historis yang belakangan justru diterima Barat. Kristen Neo-Ortodoks menyatakan bahwa Juru Selamat itu tidak ditemukan dalam sejarah, melainkan dalam Gereja. Makanya, tidak mengherankan jika mereka memperlihatkan ketidakpeduliannya atas apa yang dinarasikan Islam tentang Kristus. Namun, umat Kristiani secara umum mengakui bahwa perspektif Islam justru melakukan semacam moderasi antara kalangan sejarahwan yang lebih menekankan naturalitas Kristus dan kalangan Gereja atas supernaturalitasnya. Kemanusiaan Yesus jelas dalam riwayat-riwayat Syi’ah. Tapi kemanusiaannya mengalami tranformasi. Dengan pemahaman ini, sosok Kristus dalam narasi Islam Syi’ah sekaligus berdimensi natural dan supernatural.

Ini mungkin dapat dijadikan sebagai salah satu the meeting point dalam upaya membangun sebuah dialog untuk tujuan toleransi. Karena itu, membangun dialog antar agama tidak mesti didasarkan pada tujuan menciptakan satu formulasi baru dari agama-agama yang memang memiliki sejumlah titik beda dan temu. Itu berarti, yang mungkin dan relevan dilakukan adalah dialog antar pemuka atau pemikir agama-agama, bukan mendialogkan agama-agama yang berbeda-beda itu demi melenyapkan kendala-kendala bagi terciptanya toleransi.

Karenanya, perayaan Natal semestinya tidak dipandang hanya sebagai hari raya kelahiran Yesus sebagai putra Tuhan Bapak sesuai teologi Kristen semata, sehingga minimal, tidak terkesan ekslusif. Melainkan juga perlu dipandang dan ditradisikan sebagai hari raya kelahiran Yesus, Sang Kalimat dan Ruh Allah, sebagaimana diyakini umat Islam, sehingga warna merah pada tanggal 25 Desember di kalender nasional kita menjadi benar-benar ‘nasional’.

[ads1]

Tentu saja kesadaran holistik ini perlu dibarengi dengan peningkatan pengahayatan terhadap agama masing-masing. Namun, membangun dialog agama-agama tidak mesti diorientasikan untuk menciptakan sebuah formulasi ‘agama baru’ yang mengemas sejumlah titik beda dan temu sekaligus (sehingga bermasalah karena mengandungi kontradiksi dalam dirinya). Kesadaran tentang perbedaan antara agama suci dengan persepsi subjektif dan relatif terhadap agama itu sendiri mungkin dapat dijadikan salah satu alternatif meredam kekerasan struktural atas nama agama, mazhab, dan paham keagamaan yang hingga kini masih menjadi fenomena ‘biasa’ di Tanah Air tercinta.

Read more