Fenomena jilbab di Iran berbeda dengan fenomena jilbab di luar Iran, termasuk Irak yang mayoritas penduduknya juga bermazhab Syiah.
Di Irak jilbab, meski tidak diwajibkan dalam peraturan resmi negara, menjadi busana umum para wanita di kota-kota yang disucikan seperti Najaf, Karbala dan lainnya juga di pedesaaan.
Di Indonesia, yang merupakan negara berpenduduk Muslim terbanyak, jilbab mengalami dinamika. Pada masa Orba jilbab sempat dipandang sebagai ciri fundamentalisme dan pertanda anti Soeharto. Pada masa reformasi karena masyarakat berdemokrasi dan menikmati kebebasan, jilbab menjadi busana umum para wanita Muslimah meski tak mesti relijius. Jilbab sudah bukan pakaian khas karena berada di semua level dan bidang.
Memang ada pola jilbab dengan kerudung panjang yang dihubungkan dengan trend hijrah kelompok garis keras. Namun itu hanya fenomena parsial.
Jilbab dalam masyarakat relijius Iran, terutama di Qom dan pedesaan menjadi busana umum yang dikenakan sejak sebelum kerajaan Shah tumbang karena kesadaran keberagamaan. Namun di beberapa daerah perkotaan, jilbab menjadi busana wajib setelah ditetapkan oleh undang-undang.
Republik Islam yang diterapkan di Iran merupakan kombinasi sistem demokrasi dan teokrasi dengan konsep otiritas faqih yang lazim disebut Velayat e Faqih. Secara sederhana, faqih adalah individu pemegang lisensi ijtihad yang ditetapkan melalui prosedur uji kompetensi sebagai ahli hukum agama. Sedangkan wilayah adalah otoritas yang dipegang oleh faqih tersebut. Dengan kata lain, tak semua faqih adalah wali atau pemegang otoritas.
Ketika mayoritas rakyat Iran dalam referendum memilih Republik Islam sebagai bentuk sistem negara setelah runtuhnya monarki Pahlevi dan masa awal kemenangan people power dalam revolusi yang dipimpin oleh Imam Khomeini, sebagian dari mayoritas itu memilihnya karena euforia saat itu, bukan karena keyakinan teologis Islam dan berafiliasi kepada pandangan non agama, dan tak mengira bahwa sistem pemerintahan Islam menetapkan hukum agama kewajiban memakai jilbab sebagai hukum positif yang diberlakukan sebagai aturan yang mengikat.
Pemakaian jilbab telah menjadi aturan wajib secara natural bagi perempuan di Iran sejak awal Republik Islam berdiri menggantikan monarki yang runtuh pada 1979 sebagai simbol pro Revolusi. Kemudian ditetapkanlah undang-undang yang mewajibkan semua wanita, terlepas dari kebangsaan atau keyakinan agama, untuk mengenakan jilbab, yang menutupi kepala dan leher, sambil menyembunyikan rambut.
Institusi kepolisian penegak hukum moral ditetapkan. Kebijakan moral publik adalah otoritas resmi yang bertanggung jawab untuk memberlakukannya dan pembatasan lain yang menyangkut moral publik sesuai dengan persyaratan visi negara. Dan polisi etika – yang secara resmi dikenal sebagai “Doriat al-Irshad” – dibentuk demi menjamin komitmen perempuan terhadap interpretasi otoritas atas pakaian “pantas”.
Karena menjadi peraturan negara, banyak wanita Muslimah yang enggan memakai jilbab merasa dipaksa dan dirampas kebebasannya. Inilah yang seolah menjadi masalah rutin yang setiap saat bisa meletup.
Kini wanita Iran yang berada di Iran dapat dibagi dalam empat kelompok. Pertama adalah pemakai jilbab dengan pelapis kain seutuh tubuh. Kelompok yang relijius ini lazim disebut caduri atau pemakai cadur. Cadur dalam bahasa Parsi terdengar mirip dengan cadar dalam bahasa Indonesia, namun artinya berlainan. Cadar adalah kain penutup sebagian wajah yang kerap digunakan oleh wanita di Saudi dan beberapa negara Arab juga para penganut Salafi di Indonesia. Sedangkan cadur adalah kain yang umumnya berwarna hitam yang melapisi jilbab sebagai penutup lekuk tubuh. Sebagian wanita kelompok ini terpaksa menggigit ujung cadur bila melakukan aktivitas demi menutupi lekuk tubuh. Sebagian besar wanita di kota suci Qom adalah caduri.
Kedua adalah pemakai jilbab utuh sesuai hukum agama dan peraturan negara tanpa cadur. Kelompok ini cukup banyak, bahkan mungkin kini jumlahnya lebih besar dari kelompok pertama karena dirasa lebih dinamis dan praktis juga fashionalble alias modis.
Ketiga adalah pemakai semi jilbab yang membiarkan sebagian rambutnya keluar dari kerudung. Kelompok ini disebut dalam bahasa Parsi “bad hijab” (pemakai jilbab yang buruk). Di beberapa kawasan Tehran dan beberapa kota besar fenomena semi jilbab ini cukup mencolok.
Keempat adalah wanita yang melepas jilbab dalam situasi tertentu. Kelompok ini dicap “bi hjiabi” (tak berjilbab). Jumlah mereka sangat sedikit
Beberapa hari belakangan di beberapa kota terjadi aksi unjuk rasa anti peraturan wajib berjilbab bagi wanita menyusul berita wafatnya wanita asal Kurdi setelah dibawa oleh polisi moral ke kantor dan diberi arahan karena tak mengenakan jilbab. Rumor yang beredar di media sosial tentang kekerasan petugas yang mengakibatkan kematiannya telah memicu aksi tolak jilbab yang berujung aksi perusakan fasilitas publik dan penjarahan.
Meski aksi unjuk rasa itu telah disusupi anasir perusak dan teroris serta diprovokasi oleh oposisi garis keras binaan AS juga diblow-up oleh ragam media Barat berbahasa Parsi, gerakan sosial yang menentang peraturan wajib memakai jilbab adalah fakta nyata dalam masyarakat perkotaan meski tak merepresentasi seluruh wanita Iran.
Merespon fenomena itu, pemerintah Iran, dengan otoritas dalam menentukan asas kemaslahatan yang dipegang oleh Rahbar sebagai institusi kekuasasn tertinggi dalam konstitusi negara, mungkin perlu menempuh pendekatan yang relevan dengan fakta aktual masyarakat Iran yang tak sama dengan fakta masa lalu mereka pada masa awal revolusi dan berdirinya Republilk Islam Iran demi mengantisipasi konspirasi pihak-pihak yang bekerja keras untuk melemahkannya bahkan melenyapkannya, terutama AS dan rezim pendudukan Palestina.