“Kemarau dosa berganti semi ampunan. Selamat menunaikan puasa Ramadan. Mohon maaf atas semua kesalahan.” Itu salah satu teks SMS yang saya terima menjelang bulan suci Ramadan.
Aku pun ikut-ikutan mengirim SMS ucapan “selamat berpuasa” sebagai partisipasi dalam keramahan-digital. Benar-benar menyenangkan! Semua orang terasa seperti benar-benar menyambut, termasuk para pedagang kain di pasar Tanah Abang yang sebagian besar tidak berpuasa (karena memang bukan Muslim), dan (jangan lupa) para operator seluler yang cengengesan menghitung laba. Apa mau di kata! Inilah globalisasi Ramadan. Bush dan Perdana Menteri Inggris pun ikut meramaikan bulan umat Islam ini dengan ucapan selamat seraya berucap “Ramadan karim”.
Umat Islam, utamanya di Indonesia, nampaknya memang telah sangat terbiasa dengan keimanan yang merupakan fungsi waktu. Ketika masuk bulan suci Ramadan, rasanya keberadaan night club, kedai minuman keras dan simbol maksiat terlihat tidak menyenangkan. Bahkan melihat orang yang seenaknya makan di jalan ketika kebanyakan orang melaksanakan puasa pun sudah membuat mata terasa tak nyaman.
Para artis pun merespon “pasar” Ramadan yang dikuasai oleh logika konsumerisme ini dengan sangat baik. Kalau mau mendapat job melimpah di bulan Ramadan, mereka pun rela menutup semua auratnya dengan rapat agar bisa tampil sebagai bintang iklan sirup atau pembawa acara “kultum”.
Hampir semua stasiun TV menyambut Ramadan dengan acara lawakan yang semakin “brutal” dari tahun sebelumnya. Pemirsa diajak “tadarus” dengan sinetron-sinetron ala “istighfar” atau terpingka-pingkal siang dan malam. Sejak acara pengantar sahur hingga acara menjelang berbuka semua diwarnai lelucon yang konyol. Kadang juga diselingi dengan nasihat agama. Itu pun berlangsung secepat kilat, karena dibatasi jam tayang.
Betapa memilukan melihat sang ustad yang mesti mengikuti arahan pengarah acara agar tampil konyol, ikut-ikutan membanyol bersama para badut.
Ramadan telah menjadi bulan lawakan karena didominasi oleh acara-acara dagelan dan kuis dengan sedikit sentuhan agama, beberapa helai kerudung, baju koko, dan tentu saja wajah menor sang artis wanita bahkan waria.
Acara lawakan laksana obat penghilang rasa nyeri untuk membuat rakyat lupa bahwa lehernya sedang tercekik kesulitan ekonomi pascakenaikan harga BBM. Namun, ketika lawakan menerobos area sakral agama, maka kita harus menentangnya, meski mungkin bertentangan dengan kehendak umum. Membuat topik agama menjadi bahan tertawaan sungguh bukan sesuatu yang bisa dianggap ‘kebebasan berekspresi’ karena itu melanggar ayat al-Quran, Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” (QS. at-Taubah [9]: 65)
Awal Ramadan memang sejuk dengan rahmat, tetapi tidak untuk mereka yang masih nonton dagelan pada saat yang mustajab itu. Pertengahan Ramadan bertabur ampunan, tetapi tidak untuk mereka yang tertawa terbahak-bahak sambil sibuk menelepon menjawab kuis.
Akhir Ramadan adalah kesempatan untuk “kelahiran kedua” dan kebebasan dari dosa, tapi tidak untuk mereka, para pencari kesenangan hewani. Allah berfirman, “Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan. (QS. at-Taubah [9]: 82).
“Ketika tiba malam-malam terakhir Ramadan, menangislah langit dan bumi, karena saat itu doa dikabulkan, pahala dilipatgandakan, dan dosa diampuni,” kata Nabi.
Butir-butir tangis dalam pengakuan dosa adalah rinai-rinai musim semi ampunan, bulan Ramadan.
Ramadan tahun ini bagi sebagian umat Islam tidak menyenangkan. Tiga juta jiwa di Somalia terancam mati kelaparan.
Ramadahan kali ini tidak hanya berisi tangis bahagia, tapi tangisan getir yang tertampang di wajah bocah-bocah Palestina di Gaza yang terus diblokade oleh Israel, dan tidak memancing iba saudara-saudara Arab dan Muslim.
Karena itu, pesta ampunan ini hanya boleh dinikmati oleh jiwa-jiwa rebah dan kalbu-kalbu pasrah, bukan para koruptor yang telah memutilasi rakyat lalu ikut-ikutan “puasa bersama”. Ini bulan suci, bung! (majalah ADIL)