KALKULASI POLITIK KONSTELASI PEMILU 2024

KALKULASI POLITIK KONSTELASI PEMILU 2024
Photo by Unsplash.com

Atmosfer politik Indonesia ditakdirkan mempunyai dua corak yang berbeda dan kadang berlawanan, yaitu Nasionalisme dan Islam. Mindset dikotomisme ini terbentuk sejak lama bahkan sebelum kemerdekaan diproklamasikan.

Nasionalisme semula secara politis dikaitkan dengan PNI kemudian diasosiasikan dengan PDIP dan secara kultural serta historis dengan kalangan abangan terutama di wilayah Mataraman.

PDIP yang selama masa rezim Soeharto berkuasa dianaktirikan menjadi kekuatan politik yang paling kuat karena dua faktor utama; keagungan figur Soekarno dan basis kultur abangan yang mendominasi Jawa Tengah dan setengah dari Jawa Timur terutama di wilayah Mataraman.

PDIP punyai basis Nasionalisme kultural dan pengaruh emosional terhadap kalangan abangan yang fanatik tanpa bisa dipengaruhi oleh rayuan politik lain. Bila dilihat dalam kalkulasi bisnis, ia punya captive market.

Dalam proses dinamikanya di era Reformasi, mulai muncul beberapa partai politik yang juga mengeklaim bercorak nasionalis. Salah satunya adalah Demokrat yang sempat menang secara mengejutkan dalam Pilpres dan mengantarkan SBY ke kursi kepresidenan selama dua periode.

Kedua adalah Gerindra, yang hampir saja mengantarkan Prabowo ke Istana pada Pemilu lalu karena jumlah suara yang diperolehnya tak berelisih jauh dengan suara untuk Jokowi yang didukung PDIP dan NasDem.

Ketiga adalah NasDem yang secara mengejutkan pula menjadi partai besar tanpa figur menonjol dengan mendukung figur dari partai lain, Jokowi, dalam dua periode dan berada dalam lingkaran koalisinya. Kejutan berikutnya adalah dukungannya atas figur non partai, Anies Baswedan, sebagai Capres pada Pemilu 2024.

Keempat adalah Golkar. Sebagai raksasa politik yang punya pengalaman dalam berpolitik sejak Orba tetap bertengger dalam tiga besar konsisten dengan corak plural lebih longgar yang didominasi oleh kalangan perkotaan alias priyayi. Di dalamnya ada ragam elemen, utamanya seperti HMI yang bercorak Islam progresif dan GMNI yang nasionalis. Karena karakteristiknya yang inklusif, moderat, dan pragmatis, partai ini mampu bertahan meski sempat melorot jauh pada masa-masa awal Reformasi.

Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Politis

Partai-partai nasionalis di atas kecuali PDIP tak punya pengaruh kultural yang membuatnya tetap kuat secara elektoral karena lebih mengandalkan Nasionalisme rasional.

Demokrat yang tak berada dalam koalisi Pemerintahan Jokowi yang dipimpin PDIP mengalami serangkaian problema konflik yang menghambat konsolidasi jelang Pemilu 2024. Rendahnya elektabilitas figur yang diusungnya sebagai bakal Cawapres dan cairnya massa pendukungnya membuat posisi tawarnya lemah. Karena kompetisi politik saat ini berbasis kepentingan, bukan ideologi, komposisi koalisi partai-partai bisa berubah cepat dan drastis.

Demokrat merasa dikhinanati oleh NasDem yang memerlukan massa kultural partai Islam tradisional yang punya captive market terutama di Jawa Timur guna melengkapi suara Capresnya. Dalam bursa politik pragmatis, sebenarnya penggunaan frasa pengkhianatan tak lagi relevan.

Gerindra bisa dianggap sebagai partai nasionalis yang longgar karena sempat "akrab" dengan PKS dan kelompok massa Islam yang membangun sikap oposisi jalanan pada Pemilu lalu. Namun sejak menjadi partai koaliasi Pemerintah yang terpilih untuk kali kedua terutama jelang Pemilu 2024 ia menjaga jarak dengan oposisi Islam non partai.

NasDem yang sadar diri tak punya pengaruh kultural di kalangan massa nasionalis merasa perlu mengembangkan strategi guna mempertahankan eksistensinya dalam setiap kontestasi politik.

Karena posisi politiknya dalam Pemilu cenderung fluktuatif, ia menghitung dengan cermat konstelasi dan memutuskan untuk menggandeng dua partai bercorak Islam dan punya captive market yang kuat demi memenuhi syarat minimum elektoral dalam pencapresan dan mengusung figur independen yang sempat dekat dengan kelompok oposisi Islam garis keras pada Pilkada DKI yang telah berlalu.

Jagad politik negeri ini geger ketika Ketua Umum partai NasDem, Surya Paloh (SP) mengumumkan Gus Imin yang merasa di-PHP oleh Gerindra, sebagai Bacawapres Anies Baswedan.

Ada dua sumber gegernya; Pertama, kehadiran PKS dalam koalisi pengusung Anies yang nota bene berseberangan secara kultural dan keagamaan meski sama-sama bercorak Islam; Kedua, PKB yang dikenal sebagai partai besutan para tokoh NU menentang Islam politik yang beraroma garis keras.

PKS sendiri tidak serta merta mengafirmasi langkah cepat itu, meski akhirnya menyatakan dukungan resmi atas pencawapresan Ketua Umum PKB, Cak Imin, karena tidak punya pilihan lain.

Di sisi lain, Demokrat yang menginginkan AHY dijodohkan dengan Anies sebagai Cawapres merasa dikhinanati oleh keputusan sepihak NasDem.

Di atas kertas, SP memastikan dukungan PKS sebelum menyatakannya secara resmi. SP juga tak terkejut dengan keputusan Demokrat meninggalkan koalisi pro Anies karena suara dukungan massa NU, meski hanya setengah, yang tetap memegang teguh PKB lebih nyata ketimbang suara massa Demokrat yang belum jelas. Bersama PKB dan PKS, NasDem bisa lega dengan modal kira-kira 26 persen untuk mendaftarkan paket Capres dan Cawapresnya.

Karena berideologi Nasionalisme modern yang elastis, NasDem tak canggung berkoalisi dengan partai nasionalis dan Islamis. Karena itu, ia bisa beradaptasi dengan PKS. NasDem juga tak sulit untuk berkoalisi dengan PKB. Mantan petinggi PKB, Effendy Choirie (Gus Choi), yang kini menjadi pengurus inti NasDem terduga kuat memainkan peran penting dalam penduetan Anies dan Muhaimin.

Sebagai partai berbasis kader, PKS punya massa pendukung yang terikat secara ideologis terutama di wilayah perkotaan dan kelas menengah di DKI, Jabar, dan Banten serta luar Jawa. Inilah yang telah dikalkulasi oleh NasDem.

Secara ringkas, NasDem berhasil memadukan dua kekuatan politik Islam yang berlainan sekaligus keduanya untuk transformasi dan adaptasi.

Antara PKB dan NU

Hal yang justru perlu menjadi objek penyorotan adalah "cinta terlarang" antara PKS yang berbasis Islam beraroma pergerakan Ikhwanul Muslimin dan PKB yang menentang Islam transnasional.

Uniknya, meski berbeda dalam pandangan politik Islam, dua partai ini masing-nasing punya massa kuat yang konsisten. PKB punya modal tetap berupa pengaruh kultural ke-NU-an, karena secara faktual merupakan anak kandung NU.

Kemudian yang juga menarik untuk diperhatikan adalah perseturuan antara Cak Imin dan PBNU juga keluarga Gus Dur. Tentu, polemik antara Yenny Wahid, puteri sulung Gus Dur dan Cak Imin yang belakangan ini kian sengit dan beredar luas di media sosial memberikan efek yang cukup signifikan meski tak akan total.

Konflik antara Cak Imin dan Yenny Wahid dan perbedaan sikap antara Ketua Umum PBNU, Gus Yahya Staquf dan mantan Ketua Umum PBNU, Kyai Said Agil Siradj, tentang relasi PKB-NU tak pelak menimbulkan kebingungan di kalangan umat nahdliyin. Said Agil menyebut PKB merupakan bagian dari Nahdlatul Ulama (NU) dan begitu pun sebaliknya. Dia bahkan berharap PKB menang. Sedangkan Yahya Staquf menegaskan PKB bukan partai yang merepresentasikan NU.

Dua pandangan yang berlawanan ini mungkin berdampak terhadap elektabilitas Cak Imin dan berkurangnya suara untuk PKB.

Surya Paloh tentu mengetahui fenomena itu. Sebelum meminang Cak Imin, dia sudah melakukan kalkulasi matang serta mempertimbangkan dampak politik terhadap elektabilitas Cak Imin dan suara massa NU dan PKB. Karena tak mungkin suara massa PKB berpindah semua ke partai lain juga pasangan Capres-Cawapres, maka NasDem mungkin menetapkan target realistis dalam meraih suara massa PKB dan NU kultural. Sederhananya, setajam apa pun perseturuan internal itu, massa NU terutama yang sepandangan dengan Prof. Said Agil Siradj dan sebagian kyai besar diperkirakan akan tetap mendukung PKB juga pasangan AMIN. Tokoh NU non PKB dalam kalkulasi ini tidak akan mampu mengungguli suara yang akan diterima oleh PKB.

Berbekal dua partai yang punya captive market itu, SP tak merasa perlu merisaukan hasil-hasil survei dan terus tancap gas.

Posisi Penting Identitas Islam dalam Pemilu

NasDem lebih gesit melakukan terobosan harmonisasi Nasionalis-Islam. Posisi Anies yang semula digempur dengan stigma dekat dengan kelompok Islam intoleran bisa dinetralkan dengan menggandeng Cak Imin.

Kalkulasi Surya Paloh dengan koalisinya tak berlaku bagi Gerindra yang mulai mantap melangkah dengan pencapresan Prabowo setelah Demokrat berlabuh di dermaganya dan tak merisaukan sikap Golkar yang belum tegas meski berada dalam koalisinya.

Akan tetapi yang menjadi pertanyaan, bagaimana Gerindra menyikapi takdir duet Nasionalis-Islam? Apakah dengan menerima Cawapres dari Demokrat atau Golkar yang nota bene berasal dari kubu nasionalis demi mengamankan 20 persen untuk pendaftaran resmi di KPU? Ataukah menggandeng Erick Thohir yang diajukan oleh PAN yang prosentase elektoralnya rendah dengan mengabaikan harapan Demokrat dan Golkar yang prosentase elektoralnya lumayan tinggi?

Prabowo dengan jejak masa lalu, yang kerap dipersoalkan oleh para aktivis, tentu memerlukan dukungan kalangan Nahdliyin untuk memenangkan Pilpres. Inilah dilema yang mungkin membuat Gerindra hingga kini belum menentukan secara resmi sosok bakal Cawapresnya.

Apakah PDIP yang punya modal prosentase electoral threshold berani menjodohkan salah satu "petugas partai"-nya yang dicapreskan dengan sosok NU di luar PKB demi memadukan kelompok Nasionalis dan Islam?

Hampir pasti, kini NU sebagai Ormas tidak lagi direpresentasi oleh salah satu partai politik, sebagaimana dipahami dari beberapa pernyataan Gus Yahya Staquf. Bila Ganjar -yang nasionalis- diduetkan dengan Bacawapres dari partai nasionalis pula, dan bila Prabowo menggandeng Bacawapres dari Demokrat dan Golkar, yang nasionalis, dan seandainya Prabowo disandingkan dengan Ganjar atau sebaliknya, maka sangat mungkin Koalisi Perubahan diuntungkan karena yang mewakili NU di arena hanya Cak Imin yang sudah menjadi calon resmi Capres Anies.

PDIP bisa saja mengambil salah satu tokoh NU dari PPP meski pengaruh elektoralnya tak sebesar PKB.

Pada akhirnya, harus diakui bahwa dalam semua kalkulasi, NasDem memang terhitung lebih gesit dengan menggaet PKB sebagai mitra koalisi. Let's see!

Read more