Setelah Rafsanjani dari kubu mulla kanan dianggap gagal memperbaiki nasib rakyat karena kebijaksanaannya yang dianggap memihak kaum kapitalis dan industrialis, dan setelah Khatami, yang didukung oleh kubu kiri, dianggap gagal melakukan reformasi, rakyat kecewa dan meragukan kemampuan serta moralitas kaum mulla dari kedua kubu.
Masyarakat mulai mengesampingkan istilah kanan dan kiri dan menganggapnya sebagai lelucon politik yang ‘basi’ sambil mencari figur alternatif dari luar arena politik, dan di luar kalangan mulla.
Ahmadinejad, figur non mulla dan bukan dari sentra kekuasaan kanan dan kiri, secara dramatis mengalahkan politikus ulung plus mulla, Rafsanjani. Ia terpilih karena “serba bukan”; bukan mulla, bukan politikus, bukan anak pejabat, bukan perwira, dan bukan pengusaha.
Kini setelah berjalan empat tahun dari pemerintahan Ahmadinejad, sejumlah kebijaksanaan politik (terutama luar negeri) dan ekonomi menjadi sasaran empuk kritik dan serangan kubu yang empat tahun lalu dikalahkan secara dramatis. Hampir semua politisi yang besar pada masa Revolusi Islam, bergabung dalam satu gerbong, baik yang disebut reformis (Mosavi, Karrubi) maupun konservatif-moderat (Mohsen Rezai) melawan satu kandidat, Ahmadinejad.
Ahmadinejad, merasa bahwa kampanye negatif terhadap dirinya telah dimulai sejak hari pertama ia menjalankan tugas kepresidenan melalui berbagai macam modus, menghambat kinerjanya melalui parlemen yang terus menerus mengkritik dan mempertanyakan kualifikasi orang-orang pilihannya dalam kabinet. Kasus terbesar adalah mosi tidak percaya yang diberikan kepada mendagri pilihannya yang dianggap memalsukan ijazah.
Saat itu Ahmadinejad sangat terpukul dan menganggap tolok ukur keberhasilan bukanlah sertifikat namun kinerjanya. Namun, pembelaannya kandas. Tuduhan lain adalah gaya kepemimpinannya yang dianggap one man show karena lebih mengutamakan pendapat pribadi dalam berbagai bidang yang tidak dikuasainya, termasuk dalam bidang ekonomi, terutama dalam menekan inflasi, menarik investasi dan mengatasi pengangguran.
Sejumlah kebijakan politiknya terutama dalam pergaulan internasional, terkait negosiasi masalah nuklir, hubungan dengan negara-negara Teluk dan isu Palestina yang membuat Iran berada dalam posisi sulit secara poltik dan ekonomi. Itu semua, sebagaimana dilontarkan oleh Mosavi, merupakan bukti ketidakcakapan MAN dalam membangun sikap politik yang santun.
MAN, yang selama ini, dikenal santun dan proletar, merasa kesabarannya telah mencapai batas maksimal. Ia pun secara spontan membrondong rival-rivalnya, juga para tokoh di balik mereka, yaitu Rafsanjani dan Nateq Nouri, sebagai gerombolan bourjuis yang memanfaatkan situasi politik yang tidak stabil pada masa pertama Revolusi sebagai kesempatan untuk memperkaya diri dan keluarga dengan membuat kebijakan-kebijakan ekonomi yang dianggpnya “akal-akalan”.
Soal, kebijakan ekonomi, MAN menantang kubu rivalnya untuk menunjukkan angka valid inflasi dan membandinngkannya dengan perioide-periode para pendahulunya.
Meski embargo makin kuat terhadap Iran akibat sikapnya terhadap proyek nuklir, namun itu juga mendongrak harga minyak, yang pada gilirannya menguntungkan rakyat Iran. MAN mengakui, bahwa yang paling merasakan dampaknya adalah rakyat miskin Iran di pelosok, bukan di kota-kota besar, yang kebetulan menjadi basis suara kubu raformis.
Tentang politik luar negeri, MAN mencibir kebijakan politik Khatami (pendukung Mosavi) yang mengedepankan dialog, namun tidak berhasil mengubah sikap Amerika dan Barat. Sebaliknya, ia mengatakan bahwa meski bersikukuh dengan sikap politilknya yang dianggap kaku, di akhir periode pemerintahannya, Amerika malah bersedia mengubah sikapnya terhadap Iran bahkan mengulurkan tangan untuk dialog secara langsung dan memperbaiki hubungan.
Pro dan kontra pun mencuat. Rafsanjani kesal dengan sikap MAN. Ia segera mengirimkan surat kepada Pemimpin Tertinggi, Ali Khamenei, memintanya memberikan teguran kepadanya. Sementara sejumlah ormas pro-MAN dan sejumlah ulama-politikus melontarkan pernyataan kecaman atas sikap Rafsanjani yang terkesan memanfaatkan posisinya selaku Ketua Dewan Penentu Kemaslahatan untuk mengikis popularitas MAN dan menarik Pemimpin Tertinggi untuk mengubah kenetralannya.
Siapapun yang terpilih, suhu politik Iran nampaknya akan terus memanas. Sangat mungkin masing-masing kubu akan terus bersaing dan saling melemahkan, sebagai oposisi maupun pemerintah.