Dia rela menjadi istrinya karena saat di kampus, ia adalah idaman para aktivis muslimah. Pria itu selalu menonjol dalam diskusi-diskusi dan training.
Mila pun kawin dengannya meski keluarganya menolak dan menentangnya. Karena pilihannya untuk menjadi istri lelaki yang diyakininya pejuang itu, ia rela disingkirkan dari keluarga. Ayahnya tidak lagi menyuplai dana dan perhatian. Mila benar-benar kehilangan keluarganya.
Setelah kehilangan keluarga, Milla harus menghadapi kenyataan pahit. Ia harus kehilangan suaminya. Bukan karena meninggal. Pria yang saat masih mahasiswa dipandangnya dengan mata berbinar penuh kekaguman itu ternyata “manusia fiktif”. Sebutan ini sangat tepat, karena setelah menitipkan janin di kandung Milla, lelaki itu menunjukkan sikap yang sama sekali berbeda dengan dulu. Sering bersikap kasar, kadang melakukan pemukulan, jarang pulang, dan yang lebih parah lagi, tidak memberinya nafkah bahkan untuk makan anaknya yang mulai terlihat kurang gizi itu.
Beberapa bulan lalu, Milla sempat ditinggal begitu saja di kost di Jakarta, dan tidak lagi dikontak. Wanita penyabar yang bersuara kecil ini kehabisan semuanya untuk membayar uang kos dan makan. Inna lilla…
Sekarang, ia juga kos (entah bagaimana dia membayarnya?). Yang membuatku terenyuh, dia tidak pernah mengeluh kepada siapapun, meski sangat mungkin dia dan anaknya akan kehabisan makan. “Saya makan indomie sejak 3 bulan,” jawabnya dengan suara serak via ponsel.
Milla memang tidak mengeluh, tapi suara parau dan tangisan bayinya yang kurus itu benar-benar membuat saya sedih.
Untunglah, sarjana lulusan UNHAS yang tak pernah lepas jilbab ini masih sempat menyimpan no rek BCA.
Adakah yang ingin menjadikan Milla sebagai sarana untuk mencari ridha Allah, syafaat Nabi dan AB-nya?
<!–[if gte mso 9]> Normal 0 false false false EN-US X-NONE AR-SA MicrosoftInternetExplorer4 <![endif]–><!–[if gte mso 9]> <![endif]–>