KATEGORI, BIBIT PENGETAHUAN

KATEGORI, BIBIT PENGETAHUAN
Photo by Unsplash.com

Ingin berpikir logis tentang realitas, Tuhan, agama dan apapun? Ingin imun dari hoax? Ingin memproduksi pikiran-pikiran valid? Pahamilah beberapa menu penting dalam logika. Salah satunya adalah kategori.

Manusia berpikir dengan akal melalui kategori. Contohnya, kita mengenal kursi sebagai benda padat sebagai sarana duduk, mobil sebagai kendaraan, dan rumah sebagai tempat tinggal. Benda padat, kendaraan, dan sebagainya adalah contoh kategori yang digunakan untuk mengenali dan mengelompokkan benda-benda. Secara singkat, kategori adalah jendela realitas objektif bagi manusia.

[ads1]

Pada awalnya kategori yang digunakan sangat sederhana dan umum seperti lebih besar dan lebih kecil, atau lebih jauh dan lebih dekat, atau lebih keras atau lebih lembut. Namun itu hanya menghasilkan pengetahuan yang tak rinci. Kemudian kategori yang lebih kompleks dikembangkan, seperti Budi adalah hewan berakal yang bernapas dengan paru-paru dan berakal serta berkebangsaan Indonesia.

Selain itu, ada hierarki kategori, baik berdasarkan sifat umum atau khusus, maupun sifat kompleks atau simpleks. Makhluk hidup, contohnya, merupakan kategori yang lebih umum dari hewan yang didefinisikan sebagai makhluk hidup yang berkehendak dan berindera. Makin kompleks komposisi kategori dalam benak seseorang, makin detail pula pengetahuannya. Itulah bahan baku definisi. Ini bibit pengetahuan yang berbasis korespondensi. Pandai dan tidak pandai sebenarnya diukur kompleksitas kategori dan akurasi penyusunannya.

Aristoteles membagi segala sesuatu dalam sepuluh kategori (al-maqulat) mencakup (1) substansi’ (2) kualitas, (3) kuantitas atau ukuran, (4) relasi (relatio), (5) aksi (actio), (6) reaksi atau terkena aksi (pasif, menderita, pasio), (7) waktu (kapan), (8) lokasi (dimana), (9) posisi (dalam arti posisi fisik atau posture, silus) dan (10) memiliki atau mengenakan (habitus).

Penentuan kesepuluh kategori itu berangkat dari penggolongan dari seluruh ‘ada’ (being). Ia membagi ‘ada’ menjadi ‘ada bagi diri sendiri’ dan ‘ada bagi yang lain’. Dari dua jenis ada ini lalu diturunkan lagi hingga diperoleh sepuluh kategori tempat setiap hal dapat dimasukkan ke dalam salah satu kategori itu. Dari sini dapat dipahami bahwa dasar dari kategori adalah pengetahuan tentang ada yang menjadi pembahasan utama dalam metafisika dan ontologi.

Dengan penentuan sepuluh kategori, Aristoteles telah mengklaim bahwa ia memahami segala hal sebagai ‘ada’ (being).

[ads1]

Para filsuf skolastik dan para filsuf Muslim mengembangkan serta mengajukan sejumlah pandangan kritis terhadap 10 kategori diatas. Suhrawardi merampingkan jumlah kategori menjadi 5 dengan tambahan gerak. Secara umum, kategori yang kerap digunakan oleh orang adalah kuantitas dan kualitas. Hampir semua kategori bermuara ke 2 kategori utama itu.

Selamat berlogika.

Read more