KAUM BORJUIS, FEODALIS DAN HEDONIS

KAUM BORJUIS, FEODALIS DAN HEDONIS

Kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) mencuat ke permukaan dan mendominasi linimasa media sosial. PIK yang kemudian dilanjutkan dengan PIK 2 merupakan kawasan yang menyediakan berbagai fasilitas dan layanan, termasuk hunian, pusat perbelanjaan, fasilitas rekreasi, dan kawasan bisnis. Alhasil, PIK menjadi sorga bagi yang mencari gaya hidup mewah. Di balik kemewahan dan gaya hidup borjuis yang ditawarkan, PIK menyimpan sejumlah persoalan permasalahan hukum, kontroversi, dan sengketa antara pengembang proyek, pemilik lahan, pemerintah daerah, serta masyarakat sekitar. PIK adalah akronim yang enurut banyak orang identik dengan borjuisme dan hedonisme. Kaum borjuis adalah kelompok individu yang menganut Borjuisme, suatu ideologi yang menekankan dominasi kelas borjuis atau kaum borjuis dalam sistem sosial dan ekonomi. Kaum borjuis memiliki modal ekonomi dan kekuasaan politik yang ditandai oleh kontrol terhadap produksi, perdagangan, serta kepemilikan properti dalam masyarakat kapitalis. Mereka cenderung memprioritaskan akumulasi kekayaan, risiko, dan persaingan untuk memaksimalkan keuntungan dan pertumbuhan ekonomi pribadi. Ciri utama borjuisme adalah individualisme ekstrim di mana nilai-nilai personal seperti pemenuhan kepentingan diri, akumulasi kekayaan, dan keuntungan pribadi diutamakan. Sistem ekonomi kapitalis yang ditekankan pada prinsip keuntungan juga menjadi bagian integral dari borjuisme. Namun, kritik terhadap borjuisme seringkali menyoroti masalah ketimpangan sosial, eksploitasi tenaga kerja, serta kurangnya perhatian pada kebutuhan sosial yang lebih luas. Di sisi lain, kaum feodalis menganut feodalisme, sistem sosial, politik, dan ekonomi di mana kekuasaan dan kepemilikan tanah terpusat pada bangsawan atau aristokrat. Feodalisme ditandai oleh struktur hierarki kuat di mana tanah dianggap sebagai sumber utama kekuasaan yang dikuasai oleh sekelompok elit kecil. Hubungan feodal antara bangsawan dan petani merupakan dampak dari sistem ini, di mana keterikatan dan pelayanan kepada bangsawan merupakan prinsip yang berlaku. Ciri utama feodalisme meliputi struktur hierarkis yang statis di mana kekuasaan dan kepemilikan properti ditentukan berdasarkan garis keturunan. Masyarakat feodal sangat tergantung pada sistem vassalitas, di mana setiap individu tunduk pada lord atau bangsawan yang memiliki kedudukan lebih tinggi dalam hierarki. Kritik terhadap feodalisme sering mencakup ketidakadilan sosial, ketimpangan distribusi kekayaan, serta kurangnya mobilitas sosial dan kesempatan yang adil bagi seluruh anggota masyarakat. Sementara itu, kaum hedonis menganut hedonisme sebagai pandangan filosofis yang menekankan pencarian kesenangan dan kebahagiaan sebagai tujuan utama dalam hidup. Dalam konsep hedonisme, individu didorong untuk mencapai kesenangan dan menjauhi penderitaan sebanyak mungkin. Prioritas pada kepuasan fisik dan emosional, serta penolakan terhadap pengorbanan jangka panjang demi kebahagiaan sesaat, menjadi ciri khas hedonisme. Ketiga konsep ini—borjuisme, feodalisme, dan hedonisme—merepresentasikan sistem sosial, ekonomi yang merupakan turunan dari ideologi kapitalisme-individualisme sebagai produk pandangan dunia materialsme. Dalam Islam, konsep-konsep ini sering dijelaskan sebagai "al-mutrafin" yang menyalahi ajaran agama dan sering kali berujung pada hukuman atas perilaku dan kesombongan mereka. Namun perlu dibedakan antara kekayaan (kesejahteraan) dan kemewahan (al-taraf) yang dikecam dalam Islam. Kekayaan tidak selalu berarti kemewahan. Ahli waris yang mewarisi kekayaan tidak selalu menunjukkan kemewahan, kecuali jika jumlah mereka banyak. Namun, bagi mereka yang mencapai kekayaan melalui kerja keras, dedikasi, dan usaha mereka sendiri, keberlimpahan tidak dicari dalam kesenjangan atau kemewahan yang sepele. Mereka tidak menggantungkan pengelolaan bisnis pada orang lain, melainkan bekerja sendiri dan menemukan kebahagiaan melalui proses tersebut. Para pekerja tulen ini adalah agen perubahan yang produktif, menganggap kerja sebagai nilai tambah yang tak ternilai. Mereka tak terbebani oleh besarnya kekayaan yang mereka peroleh dengan cara yang jujur, karena bagi mereka, prestasi dan kemandirianlah yang sejati. Salah satu akibat buruk kemewahan adalah penindasan rakyat suatu bangsa terhadap satu sama lain. Ketidakadilan ini dapat mendatangkan siksaan yang tiba-tiba kepada suatu bangsa, padahal mereka tidak menyadarinya, tidak mampu menolaknya, dan tidak mampu menyingkirkan akibat-akibatnya, sebagaimana yang telah terjadi pada abad-abad dan bangsa-bangsa terdahulu: {Dan berapa banyak telah Kami binasakan suatu negeri yang zalim? 11 Maka tatkala mereka mengetahui keperkasaan Kami, maka segeralah mereka lari dari padanya. 12 Janganlah kamu lari, dan kembalilah ke kemewahanmu dan ke tempat kediamanmu, supaya kamu ditanya. 13 Mereka berkata: "Celakalah kamu, kepada kami! Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim.” 14 Maka hukuman itu tidak berhenti. Demikianlah tuduhan mereka, hingga Kami jadikan mereka seperti tanaman yang layu. [Al Anbiya: 11-15] Relasi antara kemewahan dan ketidakadilan terlihat jelas dalam kehidupan yang mewah, perilaku sosial memburuk baik di kalangan penguasa maupun rakyat, kemudian korupsi meningkat seiring dengan meningkatnya kemewahan, dan ketidakadilan dimulai di kalangan elit (orang-orang paling terkemuka dan pemimpin mereka) yang hidup dalam kemewahan: "Dan orang-orang yang zalim itu, selalu mengejar kemewahan yang telah diberikan kepada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa." [Hud] :116]; Karena merasa gengsi, kaya dan berkuasa, mereka berusaha mengendalikan orang-orang yang mereka anggap lebih rendah derajatnya, dan kemudian orang-orang ini, pada gilirannya, mencoba menindas orang-orang yang berada di bawah mereka. Ketidakadilan ini berlanjut dari satu kelas sosial ke kelas sosial lainnya hingga ketidakadilan menyebar ke seluruh bangsa, yang menyebabkan kehancuran dan siksaan. Dalam ayat 27 surah Hud dilaporkan bahwa para pemimpin dari kaum yang kafir mengungkapkan keheranan dalam mendengarkan Nabi Hud AS, yang diutus sebagai utusan Allah untuk memberikan peringatan kepada mereka. Para pemimpin kafir ini berbicara kepada Nabi Hud AS, mengatakan bahwa mereka melihatnya hanya sebagai manusia biasa seperti mereka sendiri, dan bahwa orang-orang yang mengikuti Hud hanyalah mereka yang rendah dan tidak berpendapat. Mereka menolak untuk mengakui atau menerima wahyu yang dibawa oleh Nabi Hud, dan merendahkan nilai dan otoritasnya. Dalam konteks ayat tersebut, istilah "orang-orang yang tidak berpendapat" atau "orang-orang yang hina" dapat diartikan sebagai orang-orang dari kalangan yang lebih rendah dalam masyarakat, seperti orang-orang miskin, orang-orang yang tidak memiliki kedudukan sosial atau ekonomi yang tinggi, atau orang-orang yang dianggap tidak memiliki pengaruh atau kekuatan dalam komunitas. Sedangkan istilah "orang-orang sarat pandai" atau "orang-orang yang pandai" dapat merujuk kepada orang-orang yang memiliki pengetahuan, keahlian, dan pengaruh dalam masyarakat, biasanya merupakan para pemimpin, orang-orang berkedudukan tinggi, atau mereka yang dihormati karena kebijaksanaan dan kecerdasan mereka. Dalam ayat tersebut, para pemimpin kafir mengungkapkan pandangannya bahwa Nabi Hud AS diikuti oleh orang-orang yang hina dan tidak berpendapat, sementara mereka sendiri menganggap diri mereka sebagai orang-orang yang pandai, yang telah menilai bahwa nabi tersebut sebagai pembohong. Ayat ini menggambarkan sikap skeptis dan tidak percaya serta sikap sombong dari para pemimpin kaum yang kafir pada zaman Nabi Hud AS. Mereka menolak petunjuk yang datang dari Allah dan menolak untuk menerima kebenaran yang diumumkan oleh Nabi Hud, hanya karena ia dianggap sebagai manusia biasa oleh mereka. Dalam Al-Quran terdapat surah yang diperselisihkan oleh mayoritas Sunni dan mayoritas Syiah tentang pelakunya, yaitu surah Abasa yang di turun di Mekah dan terdiri dari empat puluh dua ayat. Ayat pertamanya berisi : "Dia mengerutkan kening dan berpaling, karena datang kepadanya seorang buta." Sejumlah riwayat Ahlussunnah mengenai surat ini adalah bahwa ayat-ayat tersebut turun dalam kisah Ibn Umm Maktum, seorang buta yang masuk menemui Nabi Muhammad SAW yang tengah berbicara dengan orang-orang kaya Quraisy. Nabi kemudian mengerutkan keningnya dari Ibn Umm Maktum, sehingga Allah menegurnya dengan ayat-ayat tersebut. Salah satunya adalah riwayat Al-Hakim dalam Shahih-nya dari Ali bin Isa Al-Hairi, dari Al-Atabi, dari Saad bin Yahya. Mayoritas ulama Syiah mengatakan, mengutip pernyataan para Imam Ahlul Bait, saw, bahwa hadis ini diturunkan tentang seorang laki-laki dari Bani Umayyah,yakni Utsman bin Affan. Diriwayatkan pula dari al-Shadiq, saw, yang berkata: “Telah diturunkan tentang seorang laki-laki dari Bani Umayyah yang bersama Nabi, lalu datanglah Ibnu Maktum, dan ketika melihatnya, ia merasa jijik kepadanya, wajahnya cemberut, lalu ia menenangkan diri dan memalingkan wajahnya darinya. Maka Allah SWT pun menceritakan tentang hal itu dan mencelanya.” (Majma' Al-Bayan, Tabarsi, vol 10, hal. 205) Dalam sebagian riwayat Syi’ah disebutkan bahwa Al-Abes Al-Mutawali adalah seorang laki-laki dari keluarga Umayyah yang bersama Nabi SAW, lalu Ibnu Umm Maktum mendatanginya. Lelaki itu mengerutkan kening dan wajahnya dikontrakkan, maka turunlah ayat tersebut. Thabathabai menepis "tuduhan" atas Nabi SAW sebagai subjek pelaku yang ditegur dalam surah tersebut. Menurutnya, surah ini berisi edukasi moral melalui teguran orang-orang yang mengutamakan orang kaya dan orang-orang yang bermewah-mewahan atas orang-orang yang lemah dan orang-orang miskin di antara orang-orang mukmin, sehingga mengangkat derajat penduduk dunia dan merendahkan penduduk akhirat. Kata "Mutrafin" dalam Kitab Allah SWT:l 1- “Dan apabila Kami hendak membinasakan suatu negeri, Kami perintahkan orang-orang kaya di sana, tetapi mereka tetap durhaka kepadanya. Maka berlakulah perintah itu atasnya, lalu Kami binasakan dengan kebinasaan.” (QS. Isra': 16] Dan Kami perintahkan penduduknya yang kaya untuk taat, maka mereka pun melakukan kejahatan dengan mendurhakai Allah dan mendurhakai perintah-Nya![1] 2- “Dan Kami tidak mengutus seorang pemberi peringatan ke suatu negeri, melainkan orang-orang kaya di negeri itu berkata: ‘Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang kafir terhadap apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya.’” (QS. Saba’: 34) 3- “Dan demikianlah Kami jadikan pada tiap-tiap negeri penjahat-penjahat yang paling besar kejahatannya, maka mereka tidak membuat rencana jahat, kecuali terhadap diri mereka sendiri, dan mereka tidak menyadarinya.” [Al-An’am: 123] 4- "Sesungguhnya mereka sebelum itu berada dalam kemewahan.” (QS. Al-Waqi'ah : 45) Argumen palsu dan manipulatit mereka “Dan demikianlah Kami tidak mengutus seorang pemberi peringatan sebelum kamu kepada suatu negeri, melainkan orang-orang kaya di negeri itu berkata: ‘Sesungguhnya kami dapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami mengikuti jejak mereka.’” (QS. Al-Azhar: 101) Zukhruf: 23) Sikap arogan dan perilaku jahat mereka Kaum Nuh berkata: “Apakah kami akan beriman kepadamu, padahal orang-orang yang hina dina telah mengikuti kamu?” (Asy-Syu’ara’: 111), “Dan kami tidak melihat seorang pun yang mengikuti kamu, kecuali orang-orang yang hina dina di antara kami, dalam penampakannya.” [Hud: 27], Para pemimpin kaum Shalih berkata: “Kepada orang-orang yang teraniaya, dan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka, 'Tahukah kamu bahwa sesungguhnya Shalih itu seorang utusan dari kalangan manusia?'” Ya Tuhan mereka! Mereka berkata, "Sesungguhnya kami telah beriman kepada apa yang telah diutusnya." Dan orang-orang yang sombong berkata, "Sesungguhnya kami telah beriman kepada apa yang telah diutusnya." Kamu telah beriman kepadanya, padahal kamu adalah orang-orang yang kafir. (Al-A'raf: 75-76) "Demikianlah Kami telah menguji sebagian mereka dengan sebagian yang lain, agar mereka berkata: "Apakah orang-orang ini termasuk golongan orang-orang yang beriman?" “Dan bukankah Allah Maha Mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur? (Al-An’am: 53). Dan mereka berkata, “Mengapa Al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang yang agung dari kedua negeri itu?” Maka apakah mereka membagi-bagi rahmat Tuhanmu? (QS. Az-Zukhruf: 31-32) Hukuman atas mereka Dan mereka berkata, “Kami lebih banyak harta dan anak-anaknya, dan kami tidak akan disiksa.” [Saba’: 35] "Apakah mereka mengira bahwa apa yang Kami berikan kepada mereka, baik harta benda maupun anak-anak, Kami segerakan kepada mereka kebaikan-kebaikan? Tetapi mereka tidak menyadari.” (Al-Mu’minun: 55-56). "Maka janganlah kamu terpesona oleh harta benda mereka dan anak-anak mereka. Sesungguhnya Allah tidak lain hendak menyiksa mereka dengan harta benda mereka di dunia dan agar mereka binasa, sedangkan mereka dalam keadaan kafir.” (QS. Al-Mu’minun: 55-56) At-Taubah: 55 ], "Biarkanlah Aku dan orang yang Aku ciptakan itu sendiri. Padahal Aku telah menciptakan Dia akan memperoleh harta yang banyak dan anak-anak yang menjadi saksi. Dan Aku telah menyediakan baginya makanan yang baik. Kemudian dia menginginkan Aku memberinya lebih banyak. Tidak! Sesungguhnya dia telah keras kepala terhadap ayat-ayat Kami. Aku akan membuatnya kelelahan dengan pendakian yang luar biasa. (Al-Muddatstsir: 11-17) “Katakanlah: “Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkan rezeki itu.” (QS. Saba’: 36) “Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang Kiamat, “Kapan terjadi?” Katakanlah, “Sesungguhnya pengetahuan tentang Kiamat itu ada pada Tuhanku; tidak ada (seorang pun) yang dapat menjelaskan waktu terjadinya selain Dia. Singkatnya, borjuisme dan hedonisme sendiri adalah keburukan, sedangkan boejuisme dan hedonisme di tengah mayoritas masyarakat yang miskin adalah kejahatan.

Read more