Pada umumnya kekerasan atau agresi dalam rumahtangga dilakukan oleh pihak suami sebagai reaksi (dengan justifikasi teks agama yang ditafsirkan secara denotatif) terhadap sikap dan prilaku isteri yang yang dianggap sebagai kedurhakaan dan ketidakpatuhan.
Sangat mungkin tindakan ini didasarkan pada salah satu beberapa alasan sebagai berikut :
Pertama
Salah satu pihak, kerapnya pemegang posisi suami, tak meyakini prinsip keadilan dan kesetaraan semua individu manusia, namun meyakini Tuhan menetapkan posisi laki kodrati di atas posisi perempuan.
Kedua
Karena menganggap kawin (yang merupakan interaksi biologis tumbuhan dan hewan) sebagai nikah, dan tidak meyakini nikah sebagai perkwaninan yang disahkan dengan kontrak dan perjanjian yang adil, tak punya komitmen dalam kemitraan.
Ketiga
Salah satu pihak, kerapnya pemegang posisi suami, tidak merasa bernikah karena mengira nikah adalah kawin sebagaimana dilakukan tumbuhan dan hewan. Ia tak memahami nikah sebagai aktivitas intektual insani dan proses ritual yang mengikat dirinya dan pasangan dengan kewajiban dan hak.
Keempat
Karena doktrin “kepatuhan kepada suami” yang ditafsirkan sebagai kepatuhah mutlak dan selalu ditanamkan oleh sebagian besar agamawan, para suami pada umumnya menganggap isteri sebagai bawahan yang wajib patuh secara total, bukan kepatuhan terbatags, bersyarat dan proporsional.
Kelima
Sebagian besar laki juga perempuan menganggap isteri sebagai objek atau pihak yang dinikahi dan pria sebagai subjek atau pihak yang menikahi. Padahal perempuan dalam akad nikah adalah pihak yang menyatakan ijab (afrmasi, inisiasi), sedangkan perempuan adalah pihak yang menyatakan qobul (menerima).
Keenam
Karena tak bedakan person (laki dan perempuan) dengan posisi atau fungsi suami juga isteri dalam institusi rumahtangga, banyak orang, terutama kaum laki mengira kewajiban patuh kepada suami adalah kewajiban patuh kepada pasangan laki secara personal. Padahal kepatuhan terkait dengan fungsi isteri, bukan sekadar wanita, dan kewenangan atau kepemimpinan terhubung dengan fungsi suami, bukan asal laki. Faktanya, banyak laki tak layak menjalankan fungai suami, dan tak sedikit perempuan gagal mengemban jabatan isteri sesuai pakta nikah.
Ketujuh
Pasangan (laki) yang telah melaksanakan amanat sesuai kontrak perjanjian (akad) layak disebut suami, dan karenanya wajib dipatuhi dalam hal-hal yang menjadi bagian penting rumahtangga. Wanita yang melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam hal-hal penting dalam rumahtangga sesuai akad layak dianugerahi gelar sakral isteri. Bila salah satu pasangan tidak melaksanakan tugas sesuai kesepakatan ijab dan kabul, dapat dianggap durhaka dan zalim. Laki yang tak melaksanakan tugas suami hanya pantas disebut pejantan, sedangkan wanita yang tak melaksanakan tugas isteri berhak untuk diberi gelar betina.
Kedelapan
Pada hakikatnya, kepatuhan isteri kepada suami adalah kepatuhan kepada kontrak nikah. Laki yang layak disebut suami adalah orang yang mematuhi kontrak. Keduanya wajib mematuhi kontrak nikah yang ditetapkan agama.
Kesembilan
Patuh dan dipatuhi hanyalah keniscayaan tata sosial yang rasional. Patuh sebagai isteri bukanlah keehinaan dan dipatuhi sebagai suami tak berarti kemuliaan. Yang mematuhi tidak lebih rendah dari yang dipatuhi. Yang dipatuhi tak berarti lebih mulia. Keduanya adalah hamba Allah yang mempunyai potensi dan peluang untuk bersaing menjadi lebih mulia dengan ketakwaan.
Kesepuluh
Patuh secara terbatas kepada suami tak menghapus personalitas, privasi dan hak individu. Eksistensi isteri tak lebur dalam eksistensi pasangan. Masing-masing akan menghadapi investigasi super detail atas semua perbuatannya dan diminta pertanggungjawaban sendiri-sendiri sebagai hamba kelak di Akhirat.