KEBERAGAMAAN TANPA KEBERAGAMAN
Saya baru mendengar dari obrolan ibu-ibu yang membahas sekolah lanjutan untuk anak-anak mereka pagi ini bahwa sebagian sekolah negeri memberikan kemudahan masuk kepada calon siswa yang punya prestasi ngaji atau hapal beberapa juz meski nilai ujian pelajaran tidak unggul. Sekilas ini terlihat sebagai sesuatu yang menggambarkan antusiasme luas kepada agama.
Masyarakat awam terutama lapisan menengah yang lagi risau dan mendadak menggandrungi agama menyambutnya. Sekolah-sekolah swasta berpapan agama sudah lebih dulu memasarkan relijiusitas sebagai salah satu daya tarik dengan aneka program ibadah formal vertikal full day. Semuanya laku meski berbiaya mahal. Menghindarkan anak dari narkoba dan kenakalan menjadi alasan utama para orangtua meski boleh jadi sebagian dari mereka sendiri tak mengenal agama. Tapi sebelum menganguk-angguk kagum, yang perlu diperhatikan adalah tendensi dan "siapa-siapa" di baliknya. Kita harus sadar bahwa Intoleransi, ekstremisme dan radikalisme yang kerap kali ditanamkan melalui pendidikan berlabel materi pendalaman agama dan program tambahan lebih berbahaya dari hedonisme.
Fenomena maraknya relijiusitas yang rentan intoleransi telah menyebar di setiap titik di negeri yang dibangun di atas kebhinnekaan ini. Relijiusitas minus logika pasti menafikkan toleransi, moderasi dan kesetaraan karena telah dicap sebagai agenda menghancurkan agama. Pendidikan agama, tak pelak, adalah kebutuhan primer, tapi kesadaran keberagamaan tanpa kesadaran keberagaman melahirkan fanatisme.
Suatu saat, bila mendapatkan kesempatan, saya ingin mendirikan dan mengelola sebuah sekolah berbasis logika terapan demi mencetak siswa toleran sekaligus agen toleransi melalui program tambahan wajib seperti studi fenomenologi agama, relativitas dan kemutlakan dalam persepsi agama,, sejarah aliran-aliran dalam agama-agama dan sebagainya.