Skip to main content

KEDOK AGAMA

By October 3, 2016No Comments

Sepanjang sejarah para tiran dan bromocorah sejak Namrud, Firaun hingga Abu Jahal gigih menjadikan pembelaan Tuhan sebagai modus dan strategi mobilisasi serta propaganda melawan para nabi dan bijakawan.
Skenario paling culas adalah memposisikan Ali bin Abi Thalib, pintu kota ilmu Nabi, dalam aneka dilema, antara lain dilawan oleh gerombolan penjahat yang mengangkat al-Quran. Akibat rekayasa ini, ia menjadi sasaran pertama takfirisme.
Para tiran Bani Umayah dan Bani Abbas pun menggunakan teks-teks kitab suci yang dipelintir dan teks-teks abal yang dipublikasikan dengan label hadis sebagai instrumen justifikasi atas kekuasan tiraniknya. Yazid bahkan menciptakan doktrin fatalisme dengan mendistorsi “takdir” hingga menciptakan narasi apologetik yang fatal “menentang penguasa zalim adalah menentang ketetapan Tuhan.”
Usaha-usaha itu cukup efektif menyebarkan opini manipulatif dan melemahkan sentra-sentra kebaikan yang didirikan para imam suci.
Fakta-fakta sejarah membuktikan betapa rezim-rezim ilegal itu kini dilukiskan sebagai pemerintahan yang sukses menyebarkan Islam ke Eropa dan belahan dunia serta berhasil membangun peradaban Islam. Tidak sedikit Muslim yang sampai sekarang membanggakan ekspansi-ekspansi ke Eropa dan meratapi kembalinya Cordoba dan sejumah wilayah Eropa dan Mediteranian ke agama Kristen.
Mungkin fakta-fakta noire itulah yang mendorong banyak pemikir Barat, seperti Nietzche, Marx dan Sartre menolak agama dan menganggapnya sebagai sampul kehendak dominasi.
Agama versi penguasa zalim disemai demi melanggengkan kejumudan dan kebodohan sebagai infrastruktur status quo. Agama versi para pejuang keadilan melejitkan kesadaran dan keberpihakan kepada keadilan dan kemerdekaan. Laga ini terus berlangsung sepanjang zaman.
Karbala adalah episode perdana laga abadi Yazidisme dengan “agama kebodohan” dan Husainisme dengan “agama kesadaran” mengawali dialektika ini sepanjang sejarah.