KEJAHATAN KOLEKTIF VS KEJAHATAN PERSONAL

KEJAHATAN KOLEKTIF VS KEJAHATAN PERSONAL
Photo by Unsplash.com

Salah satu peristiwa korupsi terbesar dalam sejarah Indonesia adalah kasus BLBI. Karena disusul oleh kasus-kasus korupsi lainnya, ia pun seolah tak pernah terjadi dan tak ada harta rakyat yang dijarah. Korupsi adalah kejahatan ekonomi yang tak terlihat oleh masyarakat umum dan awam. Pelakunya juga tak mudah dikenali karena tak berada di tengah masyarakat umum. Ia tak sama dengan aksi pencopetan ponsel dalam angkot atau pencurian sepeda motor dan kejahatan-kejahatanl sosial dalam skala kecil lainya yang sebagian besar adalah akibat tekanan dan tuntutan bertahan hidup di tengah gersangnya keadilan sosial. Bila banyak orang di medsos ramai-ramai berbagi berita dan tulisan yang mengecam pelaku kejahatan seksual atau bareng mengecam beberapa gelintir agamawan intoleran, maka itu karena diekspos dan mudah dikenali dari pernyataannya juga, penampilan busana (syukur-syukur bisa di-ontakan bila dari etnis keturunan).

Akibat keranjingan viralisme dan latah yang telah menjadi budaya mayoritas penghuni jagad medsos, rabun priorltas menjadi pandemi. Mereka justru berlomba memompa adrenaline ketegangan dalam polemik-polemik remeh melupaka kasus-kasus monumental korupsi yang membangkrutkan negara dan bangsa. Inilah kejahatan sturuktural yang bisa dibungkus dengan SK, regulasi, prosedur dan apologi yang bisa menjungkurbalikkan norma, mengangkangi klausa hukum dan intervensi kekuasaan politik (oligarki).

Wikipedia melaporkan bahwa kasus BLBI adalah skema bantuan (pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat terjadinya krisis moneter 1998 di Indonesia. Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis. Pada bulan Desember 1998, BI telah menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank.

Audit BPK terhadap penggunaan dana BLBI oleh ke-48 bank tersebut menyimpulkan telah terjadi indikasi penyimpangan sebesar Rp 138 triliun.

Dana BLBI banyak yang diselewengkan oleh penerimanya. Proses penyalurannya pun banyak yang melalui penyimpangan-penyimpangan. Orang-orang yang terlibat dalam kasus BLBI cukup banyak, antara lain Sudjiono Timan, Eko Edi Putranto, Samadikun Hartono, Lesmana Basuki, Sherni Kojongian, Hendro Bambang Sumantri, Edy Djunaedi, Ede Uto, Toni Suherman, Bambang Sutrisno, Andrian Kiki Ariawan, Harry Mattalata, Nader Taher, hingga Dharmono K Lawi.

Berikut sebagian kasusnya:
1 Beberapa mantan direktur BI telah menjadi terpidana kasus penyelewengan dana BLBI, antara lain Paul Sutopo Tjokronegoro, Hendro Budiyanto, dan Heru Supratomo.[butuh rujukan]
2. Mantan presdir Ficorinvest, Supari Dhirdjoprawiro dan S. Soemeri divonis hukuman 1,5 tahun penjara oleh PN Jakarta Selatan pada tanggal 13 Agustus 2003. Saat ini masih bebas karena mengajukan kasasi.
3. Dirut Servitia, David Nusa Wijaya divonis 8 tahun penjara oleh MA pada tanggal 23 Juli 2003, sempat melarikan diri ke AS namun tertangkap di sana.
4. Hendra Rahardja dihukum seumur hidup, tetapi melarikan diri ke Australia dan meninggal di sana,
5. Eko Adi Putranto dan Sherly Konjogian, divonis 20 tahun, tetapi juga melarikan diri ke Australia.
6. Bambang Sutrisno dan Adrian Kiki Ariawan, dihukum seumur hidup, tetapi melarikan diri ke Singapura. Pada Januari 2014, Adrian Kiki akhirnya diekstradisi dari Australia.
7. Samadikun Hartono, divonis 4 tahun, melarikan diri. Pada April 2016, Samadikun tertangkap oleh intelijen Tiongkok dan kemudian diekstradisi ke Indonesia.
8. Agus Anwar, Alexander PP dalam proses pengadilan, tetapi sudah melarikan diri.
9. Sjamsul Nursalim, penyidikan dihentikan.
10. Hendrawan Haryono, mantan wakil dirut Aspac divonis 1 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
10. Atang Latif, melarikan diri ke Singapura sebelum kasusnya disidangkan.
Sebagaimana dilaporkan kumparan, berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2006, ada sebanyak 65 debitur BLBI yang telah diperiksa pihak kejaksaan. Pada 17 Oktober 2006, Jaksa Agung saat itu, Abdul Rahman Saleh, mengungkapkan bahwa ada 14 pejabat bank yang menikmati kucuran dana BLBI dan statusnya menjadi buron.

Selain pejabat BI, beberapa vonis kurungan penjara juga menimpa konglomerat maupun pejabat bank yang menerima BLBI tersebut. Namun, sebagian dari mereka tetap berkelit dan sebagian besarnya lagi justru kabur begitu saja ke luar negeri.

Sebanyak 14 buron itu memiliki ceritanya masing-masing. Misalnya, Andrian Kiki Ariawan (Direktur Bank Surya) divonis seumur hidup oleh pengadilan pada 2003. Namun pada saat vonis dibacakan, Andrian sudah kabur ke Australia. Baru pada 2014 dia berhasil dipulangkan dan kini mendekam di Lapas Cipinang.

Selain itu, pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim, juga disebut-sebut kabur ke Singapura. Kasus Sjamsul Nursalim ini kemudian menjadi bersayap, penuh intrik, skandal suap lembaga peradilan, dan tentu saja, melibatkan lebih banyak orang baru.

Penerima dana BLBI adalah beberapa gelintir orang pembawa nama institusi kemewahan yang mencerminkan kemakmuran finansial, antara lain, Bank Pelita, Bank Papan Sejahtera Bank Pelita Istimarat, Bank Modern, Bank Umum Nasional, Bank Lautan Berlian, Bank Indonesia Raya, Bank Tamara, Bank Namura Yasonta, Bank Namura Yasonta, Bank Putera Multikarsa, Bank Metropolitan, Bank Bahari, Bank Intan, Bank Namura Internusa, Bank Namura Internusa, Bank Putera Surya Perkasa, Bank Tata, Bank Aken, Bank Aken dan Bank Umum Servitian.

Korupsi akbar ini dilakukan oleh para cukong tamak atas "jasa baik" para pemegang otoritas perbankan. Sekitar 15 tahun lalu, tahun 2003, adalah tahun vonis bagi para oknum pejabat BI yang bersekongkol dengan para pemilik bank. Sederet nama-nama pejabat BI seperti Paul Sutopo Tjokronegoro, Hendro Budiyanto, dan Heru Supratomo dijebloskan ke penjara dengan kurungan sekitar 2 sampai 3 tahun penjara.

Menghebohkan segelintir habib intoleran gila panggung dan menjadikannya sebagai menjustifaksi sikap rasial tapi memaafkan para perampok yang melarikan hasil perampokan adalah tragedi.

Read more