KENAPA (Bagian 1)

KENAPA (Bagian 1)
Photo by Unsplash.com

KENAPA (Bagian 1)

Prinsip Aprioritas

Kata tanya 'kenapa' mudah dilontarkan. Tapi bila dianalisa secara serius, ditemukan sebuah sistem berpikir yang megah. Sayangnya, hal ini tak mendapatkan perhatian banyak orang.

'Kenapa' semula terucap 'karena apa'. Ia semakna atau mirip dengan 'mengapa'.' Terkena' bisa diartikan 'terakibatkan'. 'Kenapa' adalah ekepresi verbal dari kesadaran purba tentang kausalitas dan keingintahuan tentang realitas.

Setiap orang selalu melontarkan 'kenapa' dan 'mengapa' terhadap dua hal, yaitu pernyataan (konsep) dan kenyataan. 'Kenapa' dengan target konsep berarti pertanyaan 'apakah pernyataan sebelumnya yang menjadi dasar bagi pernyataan setelahnya. 'Kenapa' dengan target realitas berarti pertanyaan 'apakah realitas yang mengakibatkannya'.

Suatu pernyataan direspon dengan 'kenapa' dan mengapa juga semaknanya seperti 'apa alasannya?', 'dalilnya mana?', 'kok bisa begitu?' dan sebagainya karena satu dari dua motif; a) meminta pernyataan tambahan yang menguatkannya; b) menolaknya secara implisit.

Bila 'kenapa' dilontarkan untuk meminta pernyataan lain yang menguatkannya, maka (mestinya) penanya memastikan kebenaran pernyataan sebagai konsep yang tidak valid dengan sendirinya. Itu artinya, penanya menganggap kebenaran pernyataan bergantung kepada pernyataan valid lain yang mendasarinya. Itulah yang disebut alasan, argumen, dalil dan sebagainya.

Bila pernyataan lain yang dijadikan alasan atau dalil dianggap valid oleh penanya dan pembuat pernyataan, maka penanya akan menkonfirmasinya dan membenarkannya tanpa mengulang 'kenapa?'. Bila pernyataan yang dijadikan dasar oleh pihak yang ditanya dianggap tidak valid, 'kenapa?' atau 'apa alasannya?' dilontarkan lagi, dan begitulah seterusnya sampai pihak yang ditanya menghadirkan alasan yang dianggap valid oleh penanya atau menghentikannya seraya menganggap pertanyaan pertama sebagai tidak valid.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa validitas sebuah pernyataan ditentukan oleh dua hal; a) pernyataan valid yang diterima oleh pembuat pernyataan dan pihak yang menjadi penanggap atau penanya; b) pernyataan valid yang didasarkan pada validitas pernyataan sebelumnya yang diterima oleh kedua belah pihak.

Dalam ungkapan lain, setiap orang menolak argumentasi berkepanjangan melalui rangkaian pernyataan tanpa hingga, karena 'ketakberhinggaan' disepakati secara instintif sebagai paradoks dan absurd.

Atas dasar itu, bisa dipastikan bahwa setiap orang berakal sehat sadar tentang kemestian sebuah premis atau pernyataan induk semua konsep dan pernyataan. Kemestian inilah yang dalam epistemologi disebut dengan Prinsip Aprioritas atau Ashl Badahah.

Persoalannya, sebagian manusia menjadikan teks agama sebagai pernyataan apriori dan menganggapnya sebagai satu-satunya argumen yang valid dengan sendirinya, meski sebenarnya ia adalah premis produk penafsiran sepihak terhadap teks.

Selain itu, teks menjadi premis valid setelah didasarkan pada serangkaian premis valid sebelumnya.

Singkatnya, kadang pernyataan tidak diberi alasan dan dalil teks karena validitasnya sudah bisa dipastikan dari koherensi subjek dan predikat di dalamnya.

Read more