Karena euforia, reaksi penganut baru kerap menimbulkan efek negatif dalam intern dan ekstern. Biasanya penganut baru cenderung agresif dan mengabaikan reaksi negatif pihak penganut keyakinan lama bila berdialog. Penganut baru tak jarang memulai membuka dialog spontan yang tidak dikehendaki oleh pihak lain yang menganut keyakinan yang sebelumnya dianutnya.
Sebagian dari mereka segera beranjak dari fase “ginjong” ini dan memasuki tahap pendalaman konten keyakinan dan penyempurnaan metode bahkan alasan yang tepat untuk menjadi penganut yang berkesadaran.
Sebagian lain justru makin larut dalam euforia dan agresivitasnya kian membara. Mereka merasa nyaman dengan menikmati konten chapter satu. Di dalamnya ada aneka teks suci dengan penafsiran2nya yang lugas dan teks2 sejarah yang mendukungnya. Semua yang tersaji di dalamnya mudah diserap dan disampaikan kembali kepada pihak-pihak yang tidak meyakininya. Sebagian besar isinya menegaskan dalil-dalil kokoh tentang kemestian mengikuti keyakinan ini dengan aneka uraian yang menarik dan memuaskan dahaga euforia sekteranisme.
Chapter kedua setelah penegasan dalil-dalil tekstual dan historikal tentang kemestian bagi setiap orang menganutnya, berisi penjelasan tentang cara mengimplementasikan keyakinan yang telah dianut sebagai individu mukallaf dan sebagai komunitas yang diikat oleh satu prinsip utama pembentuk keyakinan tersebut. Chapter ini tidak lagi membuka peluang kreasi individual karena penganut diharuskan mengikuti aturan dan menerima dengan kepatuhan segala konsekuensi hukumnya, seperti peribadatan dan muamalah termasuk kewajiban memperlakukan sebagian penghasilan finansialnya sebagai bagian dari hak syar’i. Disinilah kepatuhan diuji dan kesunghuhan berkeyakinan dibuktikan. Dalam chapter kedua, penganut baru yang belum terbiasa dengan kepatuhan dan keterikatan hierarkis kadang terlihat kesulitan menyesuaikan diri dengan tradisi kepatuhan dan keterikatan praktis.
Keyakinan (iman) yang merupakan chapter satu hanya sah dianggap sebagai worldview dan paradigma kehidupan yang dibangun diatas fondasi kesadaran bila disandingkan dengsn implementasi.
Implementasi keyakinan (amal) adalah ejawantah keyakinan yang hanya bisa berdiri diatas kepatuhan. Dalam ungkapan lain, “penganut resmi” adalah manusia yang mengharmoniskan kesadaran dalam keyakinan (iman) dengan kepatuhan dalam implementasi praktis keyakinan teoritis (amal).
Harmoni kesadaran yang membuka ruang kreasi intekektual dan kepatuhan yang menutup rapat2 kreasi intelektual -kecuali bagi yang mewakafkan diri dalam eksplorasi sumber-sumber primer- adalah substansi terpenting dari keyakinan dan tujuan tunggal keputusan besar menganut sebuah keyakinan.
Saat kesadaran dan kepatuhan berkelindan indah terekat kuat, kehendak untuk mengajak orang luar menganut keyakinan yang telah dianutnya biasanya berkurang dan lebih terkendali, karena energi pewacanaan itu akan tercurah pada implementasi dan usaha mendidik diri untuk patuh dengan mengorbankan ego dan melumpuhkan kehendak menyombongkan klaim kebenaran.
Budi harus menggunakan akal kesadarannya secara maksimal untuk mendapatkan alasan2 kuat yang memantapkan hatinya untuk memastikan bahwa Agus adalah atasannya dengan semua wewenangnya. Setelah berkreasi secara kritis dan mencapai sebuah kesimpulan kuat bahwa Agus adalah atasannya yang wajib dipatuhinya sebagai bawahan atau karyawan, Budi semestinya menghentikan kreasi intelektual. Bila Agus yang telah dipastikan sebagai atasan memberinya tugas, Budi tak layak mengkritisi perintah atasannya tu. Justru kreasi intelektual yang mengantarkannya kepada kesimpulan tentang posisi Agus sebagai atasan meniscayakan kepatuhan Budi. Kepatuhannya kepada atasan merupakan sikap logis dan bijak. Inilah tamsil kesadaran yang koheren dengan kepatuhan.