Setelah menanti berbulan-bulan, akhirnya rakyat Iran menjadikan pesta demokrasi tanggal 12 Juni 2009 (22 Khordad 1388) sebagai peristiwa bersejarah. Persentase rakyat yang berpartisipasi meningkat luar biasa mencapai 85 persen dari jumlah pemilih 46 juta 200 ribu, yakni hampir 40 juta rakyat Iran pada hari Jumat itu memadati tempat-tempat pemungutan suara. Mahmoud Ahmadinejad untuk kedua kalinya terpilih sebagai Presiden Republik Islam Iran selama 4 tahun ke depan dengan perolehan suara 24 juta. Angka yang luar biasa dalam sejarah pemilihan umum presiden Iran selama 30 tahun terakhir.
Fenomena bersejarah ini semakin urgen mengingat pemilu kali ini adalah pemilu pertama dalam dekade keempat Revolusi Islam Iran. Tanggal 22 Khordad harus dicatat sebagai “Revolusi Ketiga” rakyat Iran sebagai lanjutan Revolusi Pertama dan Kedua di masa Imam Khomeini ra. Revolusi Pertama adalah kemenangan Revolusi Islam itu sendiri dan Revolusi Kedua terjadi saat para mahasiswa menduduki Kedutaan Besar Amerika di Tehran yang dipakai sebagai markas mata-mata Amerika bukan hanya untuk Iran tapi di Timur Tengah. Revolusi Ketiga rakyat Iran menjelang dekade keempat Revolusi Islam sejatinya adalah operasi besar agar tubuh revolusi disucikan dari sistem yang korup, diskriminatif dan tidak adil.
Namun pemilu kali ini juga mencatat beberapa hal menarik yang akan dibicarakan dalam bagian lain dari kilas balik pemilu Iran seperti Revolusi Hijau, Proyek Reformasi, Jaringan Mafia dan lain-lain.
Saat ini mungkin terlalu cepat untuk menganalisa seluruh dimensi heroik pemilu 22 Khordad atau 12 Juni 2009, namun pentingnya masalah membuat setidak-tidaknya ada bagian dari pilpres Iran yang perlu dibeberkan di sini. Dengan demikian diharapkan dapat membantu untuk menganalisa lebih jauh masalah ini. Berikut ini ada beberapa poin yang patut dicermati yang muncul dari satu pertanyaan besar, apa pesan rakyat Iran dalam pemilu presiden kesepuluh?
Pertama, hal yang perlu dicatat bahwa pemenang sejati pilpres Iran ke-10 adalah rakyat Iran sendiri. Sekitar 40 juta orang dari 46 juta pemilih yang memenuhi syarat memilih membludaki tempat-tempat pemungutan suara menunjukkan loyalitas mereka terhadap Revolusi Islam yang dibangun oleh Imam Khomeini ra. Pilpres ke-10 ini pada hakikatnya adalah kemenangan sejati Islam dan cita-cita Revolusi Islam atas model khayalan dan interpretasi atas Islam. Yakni fenomena warna hijau yang sejatinya menjadi warna yang disucikan oleh rakyat Iran. Warna yang menjadi simbol keturunan Rasulullah saw telah dipolitisasi untuk merebut simpati rakyat. Sejatinya pemilu kali ini adalah “perang” Revolusi Ketiga dan Revolusi Hijau. Dan terpilihnya Mahmoud Ahmadinejad membuktikan kemenangan Revolusi Ketiga atas rivalnya.
Kedua, hasil pemilihan umum presiden ke-10 menunjukkan kemenangan kejujuran atas pembunuhan karakter, tuduhan tanpa bukti dan kebohongan. Rakyat Iran mampu membedakan antara kejujuran, transparansi dan loyalitas terhadap prinsip-prinsip moral dan cita-cita Revolusi Islam dengan perilaku yang menghalalkan segala cara. Sejak tiga bulan sebelum masa kampanye diumumkan, mereka yang telah menyatakan kesiapannya menjadi kandidat presiden dalam pilpres telah melontarkan pelbagai tuduhan tanpa bukti terhadap Mahmoud Ahmadinejad dan ini dengan sendirinya adalah pelanggaran atas peraturan pemilu. Terpilihnya kembali Mahmoud Ahmadinejad membuktikan rakyat Iran tetap waspada dan mencermati tindak-tanduk para kandidat.
Ketiga, pilpres Iran ke-10 membuktikan bahwa wacana yang lebih mendominasi di Iran adalah perang melawan kemiskinan, korupsi, kolusi, nepotisme dan diskriminasi. Wacana sosialisasi pesan-pesan Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Ayatullah Al-Udzma Sayyid Ali Khamenei yang menyebut reformasi dengan pengertian perang melawan kemiskinan, korupsi, kolusi, nepotisme dan diskriminasi. Terpilihnya Mahmoud Ahmadinejad sebagian besarnya berkat wacana ini yang disampaikannya saat debat terbuka dengan Mir Hussein Mousavi, kandidat kubu Reformasi. Debat yang berhasil membalikkan perimbangan kekuatan politik yang telah dibangun dengan susah payah oleh kelompok Revolusi Hijau yang berakhir pada kemenangan kelompok Revolusi Ketiga.
Keempat, rakyat yang hadir di tempat-tempat pemungutan suara membuktikan bahwa hubungan Liberalisme dan Demokrasi yang digembar-gemborkan Barat ternyata tidak begitu dalam dan masih ada peluang untuk mengajukan model lain, yaitu demokrasi agama. Bahkan dapat dikatakan bahwa masih banyak kesempatan untuk memanen cita-cita Revolusi Islam dari kebun demokrasi. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk takut akan proses demokrasi. Karena demokrasi harus dipandang sebagai cara untuk melayani rakyat.
Pilpres Iran ke-10 yang diselenggarakan tanggal 22 Khordad membawa pesan bahwa ada jarak lebar antara para politikus dan rakyat. Para politikus harus mengetahui tanda-tanda sebelum terjadi sebuah peristiwa. Rakyat Iran dalam pemilu kali ini mendemonstrasikan identitas hakikinya bahwa mereka tidak bersama para cendekiawan yang senantiasa lalai dan hanya memikirkan kepentingan pribadi atau kelompoknya. Para cendekiawan yang berbicara mengenai kondisi rakyat hanya dari cafe dan ruang seminar. Sementara rakyat merasakan dan menyaksikan dikotomi kaya-miskin.
Mahmoud Ahmadinejad yang dipilih oleh rakyat adalah sosok yang tidak hanya hebat berbicara di podium PBB, tapi juga presiden (baca: pelayan) rakyat Iran yang masuk ke desa-desa terpencil melihat langsung apa yang dirasakan oleh rakyatnya. Presiden yang biasanya keluar dari rumahnya pukul 5 pagi dan kembali lagi ke rumahnya pada pukul 1 dini hari, akibat menumpuknya pekerjaan demi menyelesaikan masalah rakyatnya. Itupun ia harus merelakan waktu setengah jam hingga empat puluh lima menit untuk mendengarkan keluhan rakyat yang telah menantinya di depan rumahnya.
Dalam proses penghitungan suara dan pengumuman perolehan suara sementara yang diumumkan pertamakalinya oleh Komisi Pemilihan Umum Iran sekitar pukul 1 dini hari waktu Iran, Ahmadinejad mendapat 7 juta suara dan Mousavi mendapat 2 juta suara. Satu jam setelahnya pengumuman kedua menyebut Ahmadinejad meraih 10 juta suara sementara Mousavi mendapat tiga juta. Meyaksikan perolehan suara sementara Ahmdinejad yang secara konstan terus mengungguli Mousavi, karuan saja kubu Reformasi mendorong mantan perdana menteri terakhir Iran ini untuk melakukan konferensi pers guna memprofokasi situasi agar menguntungkan mereka.
Dalam konferensi persnya Mir Hossein Mousavi mengatakan, “Hasil pemilihan umum presiden ke-10 sangat mengejutkan. Rakyat yang ikut dalam antrian panjang mengetahui kepada siapa mereka memilih. Rakyat dengan penuh keheranan tidak percaya akan sulapan anggota KPU dan Radio dan Televisi Iran. Masyarakat ingin tahu bagaimana dan oleh siapa rencana besar ini dilakukan. Saya menyatakan protes keras atas proses yang ada mengenai kecurangan transparan pemilu dan memperingatkan bahwa saya tidak akan menerima kondisi berbahaya ini. Hasil yang ada bukti dari ketidakamanahan KPU dan kami melihat yang ada adalah semakin goyahnya tonggak-tonggak Republik Islam Iran dan pemerintah pembohong dan penindas. Sesuai dengan kewajiban syariat dan hukum, saya akan membongkar rahasia di balik semua ini. Saya juga akan menjelaskan dampaknya yang merusak negara. Saya takut berlanjutnya kondisi yang ada mengubah tokoh-tokoh berpengaruh Iran menjadi sekedar pembenar dan pembohong dalam menghadapi rakyat dan dunia dan akhirat mereka tengah terancam dan tidak bisa ditutupi.”
Mehdi Karoubi, kandidat lain pilpres ke-10 Iran tidak melakukan konferensi tapi mengeluarkan pernyataan dan mencoba membandingkan dirinya dengan Ayatullah Mudarris dan menyebut telah terjadi kecurangan dalam penghitungan suara. Tampaknya Karoubi lupa betapa ketua tim suksesnya Gholamreza Karbaschi yang mengiringinya ke sebuah tempat pemungutan suara tidak memberikan suaranya kepada Karoubi. Berbeda dengan Karoubi yang telah memasukkan suaranya ke kotak suara, Karbaschi tidak jadi memilih. Ia langsung keluar dari sana menuju Universitas Amir Kabir dan mencoblos di sana. Karbaschi saat akan akan memasukkan suaranya ke kotak suara berbalik menghadap para mahasiswa yang tengah anti memilih lalu menunjukkan kertas suaranya kepada mereka bahwa ia memilih Mir Hossein Mousavi.
Benar, Mehdi Karoubi telah dihianati sendiri oleh ketua tim suksesnya yang rencananya bila terpilih sebagai presiden, Karbaschi akan dijadikan Wakil Presiden Iran. Semua rakyat Iran masih tidak lupa betapa dalam film kampanye kedua Karoubi, yang lebih berperan di situ adalah Karbaschi, mantan wali kota Tehran yang korup dan bukan Karoubi. Semua juga tahu bahwa Karbaschi diletakkan oleh kubu Reformasi ke pihak Karoubi untuk mengontrolnya agar tidak merusak perolehan suara Mousavi. Karena mereka tahu ketika menjabat sebagai Ketua Parlemen Iran, Karoubi banyak merugikan mereka.
Kembali pada Mir Hossein Mousavi.
Mir Hossein Mousavi mungkin lupa saat masih menjabat sebagai Perdana Menteri Republik Islam Iran pada hari Sabtu tanggal 8 Tir 1365 (29 Juni 1986) di akhir sidang kabinet saat menjawab pertanyaan para wartawan mengenai adanya kecurangan dalam pemilu sela legislatif ia menjawab, “Dalam pemilu yang diawasi oleh semua rakyat, Dewan Garda Konstitusi dan para ulama, pemerintah tidak bisa ikut campur.” Namun anehnya, ketika penghitungan perolehan suara belum berakhir, ia muncul dalam konferensi pers dan menyebut ada kecurangan yang dilakukan oleh KPU.
Selain itu, untuk pertama kalinya dalam pemilu Iran Komisi Pemilihan Umum membolehkan setiap kandidat untuk mengirimkan wakilnya untuk mengawasi jalannya pemilu.
Lebih menarik lagi, dalam konferensi pers yang dilakukannya tanpa memberikan kesempatan para wartawan untuk bertanya, Mir Hossein Mousavi mengklaim meraih suara terbanyak sebesar 30 juta suara. Untuk itu ia mengatakan kepada para pendukungnya agar segera menyiapkan pesta kemenangan keesokan harinya. Padahal di Tehran yang diklaim sebagai daerah pendukung terbanyak kubu Reformasi, Mousavi hanya mendapat 3.371.523 suara, sementara Ahmadinejad mengunggulinya dengan jumlah suara 3.819.495. Ini menunjukkan Mousavi dan kubu Reformasi kalah di hampir semua daerah bahkan Tehran, kecuali di beberapa kota.
Sayangnya kubu Reformasi yang begitu mengelu-elukan demokrasi masih belum memahami sebenarnya apa yang mereka perjuangkan selama ini. Alih-alih mengakui kekalahannya, mereka malah mengeluarkan sejumlah pernyataan provokasi kepada para pendukungnya untuk melakukan aksi kekerasan. Mulai dari surat terbuka Ali Akbar Hashemi Rafsanjani kepada Ayatullah Sayyid Ali Khamenei, hingga isterinya saat memasukkan suaranya ke kotak suara. Mengenai peran keluarga Rafsanjani dalam menggalang dukungan kepada Mir Hossein Mousavi melawan Mahmoud Ahmadinejad akan dijelaskan dalam tulisan mendatang.[islammuhammadi/sl]