KISAH TAK MENARIK
Saat mengobrol dengan anak ketiga, terdengar suara lelaki "Assalamu alaikum" dari teras depan rumah kontrakan. Dengan rasa kepo dan heran (karena belum pernah kedatangan tamu laki), saya melompat dan membuka pintu. Seraut wajah orang yang tak saya kenal hadir di hadapan saya. Sekilas pria berkopiah putih ini cukup ramah.
"Mohon maaf. Saya memerlukan pekerjaan. Saya ingin menawarkan jasa sopir. Saya sudah memasuki banyak kota. Belum ada yang memberikan pekerjaan. Saya punya penyakit asam urat di usia 50 tahun." Medengar keluhan itu saya yang seharian demam makin lemas. Saya kehabisan kata.
"Aneh. Semua orang yang saya datangi itu punya kehidupan yang bagus tapi mengeluhkan keadaan ekonomi yang serba sulit," keluhnya.
"Punya keluarga?" tanyaku.
"Pernah tapi sudah cerai tanpa anak," jawabnya.
"Tinggal dimana?"
"Saya bermalam di losmen depan terminal bus di Jember."
"Dengan sepeda motor ini?" tanyaku seraya menunjuk motor tua di luar pagar.
"Ya. Saya memasuki beberapa kota dari Bali dengan motor ini."
Dia menolak dengan sopan saat saya tawarkan makan siang. "Saya sudah makan," katanya beralasan.
Kami pun ngobrol. Dia berkisah tentang pengalamannya mendatangi beberapa tokoh agama terkemuka. Semuanya tidak memberikan respon positif.
Aku merasa beruntung karena dia tidak tahu namaku dan tidak menanyakannya. Dia mendatangiku karena seseorang memberi info singkat tentang seorang habib yang baru menetap di kampung ini.
Cerita di atas terlalu biasa dan tidak menarik. Tapi itu menggambarkan betapa banyak orang yang kesulitan mencari cara halal untuk bertahan hidup dengan kehormatan. Ironisnya, tidak sedikit orang yang hidup berfoya-foya bahkan bisa mengeluarkan uang jutaan untuk sekali makan di restauran mewah.
Saya meminta nomer hape-nya. Jawabannya " saya tidak akan mendatangi Bapak kalau masih punya hp" seperti rudal balistik Korut yang ditembakkan langsung ke jantung.
Selain memberinya semangat dan mengganti biaya bensin motornya, saya hanya bisa berjanji mencari info tentang peluang.
Hampir setiap hari saya menerima keluhan serupa. Saya senang karena mendapatkan keperrcayaan dan sangka baik, sekaligus sedih karena tak berdaya membantu.