Skandal pemerkosaan terhadap belasan santriwati selama lebih dari 3 tahun hingga mengakibatkan 8 di antara mereka hamil di sebuah pesantren yang selama ini dianggap sebagai tempat paling aman bagi generasi muda muda muslim tak pelak adalah noda yang mencoreng wajah agamawan dan citra pesantren.
Kita semua marah dan prihatin. Tapi yang membuat kita lebih marah adalah respon negatif segerombolan orang yang justru menungganginya dan memanfaatkannnya untuk memprovokasi umat dengan fitnah yang tak kalah keji dari kejahatan seksual tersebut.
Menempelkan label Syiah pada HW dengan dalih adanya hukum mubah dalam fikih Syiah takkan bisa mengembalikan atau mempertahankan kepercayaan masyarakat kepada sistem pendidikan agama dalam asrama.
Di pesanren itu para santriwati diajarkan ngaji sejumlah kitab tradisonal ilmu agama yang disebut kitab kuning, yaitu kitab-kitab tradisional yang berisi pelajaran-pelajaran agama Islam yang diajarkan pada pondok-pondok Pesantren, antara lain fiqh, aqidah, akhlaq, tata bahasa arab, hadits, tafsir, ilmu Al-Qur’an.
Salah satu yang kitab yang diajarkan adalah Safinah, yaitu sebutan singkat judul kitab Safinatun Najah yang memuat dasar-dasar ilmu fikih menurut mazhab Syafi’i. Kitab ini ditujukan bagi pelajar dan pemula sehingga hanya berisi kesimpulan hukum fikih saja tanpa menyertakan dalil dan dasar pengambilan dalil dalam penetapan hukum.
Mengajarkan kitab fikih Safinah juga menghalalkan mut’ah sama dengan mencampur kuah rawon dan es cream dalam satu mangkok.
Dengan kata lain keberislaman dengan akidah versi Syiah meniscayakan praktik yurisprudensial berdasarkan pandangan para ulama terkemuka Syiah. Keberislaman dengan akidah versi Sunni meniscayakan praktik yuridprudensial berdasarkan pandangan para ulama terkemuka Sunni.
Menerima hukum mubah mut’ah dan tema fikih khas lainnya dalam Syiah secara logis menolak otoritas di luar Syiah. Demikian pula sebaliknya.
Pencabulan terhadap santri dan murid di pesantren oleh guru dan pengasuh (yang kerap cepat-cepat diselesaikan secara diam-diam dengan dijadikan isteri kesekian bila hamil) bukan jarang terjadi, malah sudah jadi berita biasa. Menempelkan stigma Syiah pada satu ustadz pedofil takkan membantu pencegahan atau pengurangan kasus kejahatan serupa yang marak terjadi dalam lingkungan pendidikan agama terutama pesantren puteri.
Pesantren yang mengajarkan semua kitab tradisional yang lazim diajarkan di pesantren lainnya juga menerapkan aturan ibadah sepertii shalat dhuha, yaitu sebuah praktik shalat yang ditetapkan sebagai ibadah mustahabbah alias sunnah ketika matahari mulai naik kurang lebih 7 hasta sejak terbitnya hingga waktu zuhur dalam minimal 2 rakaat dan maksimal 12 rakaat. Shalat ini hanya ada fikih Ahlussunnah, dan tidak dianjurkan dalam fikih Syiah.
Sebelum kejahatan seksual ini terungkap, Kemenag menyuplainya dengan bantuan. Tentu kementerian ini tak ceroboh dan tahu risiko andai membantu pesantren Syiah. Namun karena sangat yakin pengelolanya dan semua yang diajarkan adalah ajaran yang “tidak sesat” seperti ritual tambahan shalat dhuha yang tak pernah ada dalam fikih Syiah, juga shalat berjamaah yang dilakukan dengan fikih Sunni, termasuk sedekap dan rukun-rukunnya.
Pesantren ini tak hanya dapat resmi dari otoritas formal seperti Kemenag, tapi direstui oleh otoritas informal. Ia diayomi oleh paguyuban para pengaku ulama di kota tersebut. Mustahil LSM yang diketahui membenci Syiah itu mengayomi pesantren Syiah.
Pradator seks itu adalah figur penting yang dikenal sebagai pendidik dengan sederet prestasi dalam bidang pengembangan pengelolaan pesantren, punya akses yang cukup luas dan komunikatif serta menonjol dalam aneka forum hingga dipercaya menjadi ketua sebuah forum yang mengurusi perbaikan mutu pesantren berlabel Salafiyah.
Andai saja pesantren yang dikelola oleh lulusan pesantren dan sebuah perguruan tinggi ini tidak dikaitkan dengan atribut Salafiyah, sebuah atribut khas yang tak pernah masuk dalam list atribut favorit bagi Syiah, mungkin skenario pensyiahan HW bertahan lebih lama di medsos.
Andai pesanten itu telah diisukan Syiah sejak didirikan, HW takkan sempat memainkan peran iblisnya karena sibuk menghadapi sorotan, pengucilan, tekanan, pembatasan dan aneka gangguan sebagaimana terjadi di beberapa lembaga pendidikan yang diisukan Syiah.
Pesantren atau sekolah yang dikenal atau diisukan dikelola oleh orang Syiah takkan aman dari sorotan paguyuban ulama setempat, intimidasi dan persekusi massa yang digerakkan oleh tokoh intoleran bahkan perlakuan diskriminatif oleh anasir dalam instansi pemerintah setempat, bahkan sebelum didirikan.
Ringkasnya, dengan fakta-fakta benderang tersebut, ribuan video yang mengumbar cuap-cuap fitnah dan coretan yang memuat aneka tuduhan serampangan di pelbagai platform media sosial hanya akan sukses meraih kegagalan.
Lalu mengapa pelaku kejahatan yang nyata bukan Muslim Syiah tetap “dipaksa” menjadi Syiah?
Demi mempertahankan industri berlabel agama dan pasar yang sangat besar, maka dilakukanlah taktik lokalisasi terhadap salah satu kios atau cabang dalam jaringan kartel itu dengan melabelinya stigma yang mudah ditelan oleh publik.
Sebagai kelompok minoritas yang paling lemah dan tenang karena berusaha mengabaikan fitnah dan perkusi meskipun dihujani dan dikepung dengan vonis sesat, kafir dan bukan Islam, Syiah seolah menjadi kambing hitam gratis.
Karena publik sudah percaya kepada fatwa dan label sesat dan kafir atas Syiah bahkan dianggap bertujuan menghancurkan Islam, maka semua fitnah keji pun terasa wajar dan terdengar sah.
Setelah pemerkosa dan pesantrennya di-Syiah-kan melalui beragam pemberitaan massif, publik yang lugu diharapkan tetap percaya kepada kartel pendidikan agama berasrama dan lebih membenci Syiah.
Bila tidak dilawan dengan cara yang efektif dan sesuai, sangat mungkin taktik culas ini menjadi “protap”, yaitu menjadikan kelompok keranjang sampah kasus kejahatan yang tidak bisa dirahasiakan.
Dengan kata lain, ada tendensi di balik propaganda pen-Syiah-an pemerkosa dan pesantrennya, yaitu mengamankan aset dan mempertahankan pasar umat yang keranjingan simbol agama serta menjadikan Syiah sebagai musuh masyarakat yang terprovokasi.
Gerombolan Ini memprovokasi umat karena gagal memprovokasi Pemerintah di panggung dan coretan rutin di ribuan akun medos sebagai anti NKRI setelah salah satu tokoh utamanya yang aktif memfitnah Syiah sebagai anti NKRI justru ditangkap oleh Densus karena terlibat aksi terorisme anti NKRI.
Boleh jadi ada dua pihak berbeda afiliasi keagamaan yang sama-sama berkepentingan melakukan pen-Syiah-an pemerkosa sadis ini dan pesantrennya meski berlainan tujuan, yaitu bisnis dan kebencian sektarian.
Terlepas dari itu semua, menutupi kejahatan karena tendensi kekuasaan dan kepentingan adalah kejahatan. Mengaitkan kasus kejahatan dengan aliran yang tak dianut pelaku dan korbannya sama dengan menutupinya.
Setelah makin banyak bukti-bukti yang menginformasikan pelaku dan para korban serta pesantren itu tak berkaitan dengan aliran yang disesatkan itu, tak perlu lagi mengusut lebih dalam afiliasi keagamaannya, karena pada dasarnya kejahatan tak berkaitan dengan ormas, mazhab bahkan agama tapi berkaitan dengan subjek pelaku apapun keyakinan dan profesinya.
Media, penulis dan sejumlah akun di sejumlah media sosial yang karena keteledoran atau kesengajaan menyebarkan hoax dan fitnah terhadap kelompok mazhab tertentu sebaiknya menganulir dan menghindari penyelesaian hukum yang melelahkan. Membenci sebuah kelompok Muslim adalah buruk, tapi bila kekeh merawatnya, sebaiknya membenci tanpa fitnah.