Klarifikasi Buya Syafii Maarif di Resonansi Republika
Setelah insiden Monas, banyak reaksi protes dan kecaman muncul. Saking kesalnya terhadap pelaku kekerasan atas nama agama, ada yang keceplosan sehingga menimbulkan masalah baru.
Buya Syafii Maarif pun mengklarifikasi pernyataannya yang terkesan rasial itu dalam Resonansi Republika. Menurut saya, inilah sikap yang patut dihormati dan diteladani. Silakan membacanya:
Rasisme, Daki Kelam Peradaban
Adalah sahabat saya, pengusaha Maher Algadrie (putra Hamid Algadrie, seorang pejuang nasional dari Partai Sosialis Sutan Sjahrir), yang pernah bertutur kepada saya bahwa dari keturunan Arab Yaman ada yang punya gen radikal dan revolusioner. Saya tidak tahu apakah seorang Habib Rizieq Shihab, Abu Bakar Ba'asyir, Abdullah Sungkar, Habib Alhabsyi, dan sederetan yang lain, punya nasab revolusioner dari Yaman itu. Watak radikal dan revolusioner dengan mudah sekali dapat berubah menjadi beringas jika lepas kendali dari akal sehat dan kejernihan sikap.
Tetapi, kita jujur bahwa ideologi radikal ini tidak hanya dimiliki oleh gen Yaman. Hampir semua suku bangsa di muka bumi punya gen serupa. Untuk Indonesia, sejak 10 tahun terakhir, secara kebetulan dipimpin oleh warga Indonesia keturunan Arab dengan pakaian yang serbakhas Arab. Wawancara saya dengan Sinar Harapan beberapa hari yang lalu, yang menyebut Arab tidak tertuju kepada teman-teman Arab yang berbudaya damai, intelektual, santun, dan menyatu. Dengan pernyataan ini, saya berharap agar riak-riak dan protes-protes kecil yang langsung disampaikan kepada saya oleh teman-teman keturunan Arab, semuanya adalah sahabat saya, posisinya sekarang sudah menjadi terang.
Jika telah terjadi sedikit salah paham, anggaplah Resonansi ini mengakhiri kontroversi itu. Tidak ada niat secuil pun untuk melansir rasisme dalam wawancara itu. Seluruh napas hidup saya mengembuskan formula ini: Lawan segala bentuk rasisme karena ia adalah daki kelam peradaban. Di samping antirasisme, saya juga menentang beringanisme dan budaya kekerasan.
Lebih jauh, saya ingin menjelaskan posisi saya sebagai seorang egalitarian. Berdasarkan pemahaman saya terhadap ayat 13 surat Alhujurat, ''Sesungguhnya kamu yang termulia di sisi Allah adalah yang paling takwa.'' Bagi saya, ayat ini adalah deklarasi yang paling fundamental tentang doktrin persamaan posisi manusia di depan Allah dan sejarah.
Siapa pun, tidak peduli keturunan siapa, nasab apa, raja, dan rakyat jelata, punya posisi yang sama untuk merebut dan meraih martabat takwa itu. Di depan ayat ini; raja, sultan, khalifah, pangeran, amir, para habib ( haba'ib), qaba'il, sayyid, darah biru, darah kuning, darah campuran, dan mereka yang merasa lebih dari yang lain; tanpa takwa, seluruhnya rontok berguguran dan tidak punya bobot apa-apa di mata Allah. Pertanyaannya adalah mengapa sebagian umat Islam masih saja berbangga diri dengan serbanasab dan keturunan?
Tidak jarang terjadi; melalui akuan keturunan nabi atau keturunan raja si anu, hulubalang si anu; telah berlaku perbudakan spiritual di kalangan sementara umat yang menjadi pengikutnya, pengikut yang telah kehilangan daya kritikal, kejernihan, dan akal sehat, modal yang teramat dasariah bagi manusia merdeka. Dalam pemahaman saya terhadap Alquran, hanya manusia merdeka sajalah yang layak diberi martabat mulia, baik di sini maupun di sana nanti. Budak, tidak semata-mata mereka yang dirantai kakinya. Budak juga mereka yang tidak punya keberanian untuk menjadi menusia merdeka.
Akhirnya, seperti halnya suku-suku lain di muka bumi yang lebih memilih hidup damai, harmoni, dan rukun, keturunan Arab pun berada dalam kategori ini, kecuali kelompok-kelompok beringas dan menganut ideologi kekerasan dalam mencapai tujuan. Dan, ini adalah sebuah penyakit peradaban (baca: kebiadaban) yang terdapat pada semua suku bangsa yang telah kehilangan keseimbangan dalam hidup bermasyarakat. Mereka adalah musuh peradaban yang sebenarnya. Bola sejarah harus digiring ke kutub peradaban, bukan ke kutub lawannya, jika bumi ini mau dijadikan tempat tinggal yang damai, sejuk, dan penuh persaudaraan lintas suku, bangsa, agama, dan latar belakang. (Republika Selasa, 10 Juni 2008)