Skip to main content

Koalisi Penyelamat Kemanusiaan

By January 15, 20092 Comments

Sebuah artikel istimewa dari pakar hubungan internasional UI, Hikmahanto. Silakan membacanya:

Pasca-dikeluarkannya Resolusi Dewan Keamanan PBB No 1860, Israel terus melakukan serangan militer di Gaza. Perdana Menteri Israel Ehud Olmert bahkan tidak berkeinginan mematuhi resolusi itu.

Suara abstain Amerika Serikat seolah menjadi dukungan diteruskannya serangan oleh Israel.

Dalam situasi seperti sekarang, menjadi pertanyaan, apa yang dapat dilakukan masyarakat internasional untuk menghentikan serangan militer Israel? Suatu serangan yang jelas-jelas telah melanggar Piagam PBB, hukum humaniter internasional, dan resolusi DK PBB.

Haruskah masyarakat internasional menunggu satu resolusi DK PBB lagi yang lebih tegas dan memandatkan penggunaan kekerasan terhadap Israel? Tidakkah AS akan memveto resolusi semacam itu?

Masyarakat internasional harus cepat bertindak mengingat korban terus berjatuhan. Sudah sewajarnya jika penggunaan kekerasan secara sepihak dengan alasan sepihak dihentikan.

Penghentian penggunaan kekerasan oleh satu negara melalui hukum internasional dan organisasi internasional memiliki keterbatasan.

Harus diakui, penegakan hukum internasional yang berurusan dengan masalah penggunaan kekerasan dan keamanan internasional amat lemah. Tidak heran apabila hukum internasional dianggap sebagai hukum yang primitif. Primitif karena masih mendasarkan pada prinsip yang kuat dia yang menang, bahkan benar (might is right).

Organisasi internasional pun tidak bisa terlalu diharapkan. Organisasi internasional bukanlah pemerintahan dunia. Berbagai keputusannya belum tentu ditaati oleh negara-negara yang memiliki kedaulatan.

Selain itu, dalam organisasi internasional amat sarat dengan kepentingan politik dan rentan untuk dipolitisasi.

Harus gunakan kekerasan

Penghentian penggunaan kekerasan yang tidak sah (illegitimate use of force), ketika hukum dan organisasi internasional gagal, tidak bisa lain harus menggunakan kekerasan juga.

Amerika Serikat amat tahu hal ini saat menghadapi Saddam Hussein. Coalition of the Willing (COW) pun dibentuk meski alasan dan dasar hukumnya tidak terlalu kuat.

Ide untuk membentuk koalisi militer antarnegara guna menghentikan serangan Israel yang dapat diberi nama Koalisi Penyelamat Kemanusiaan (Coalition to Save Humankind) beranjak pada kenyataan itu.

Koalisi hanya bertugas menghentikan Israel. Mandat tidak diberikan bagi penyelesaian Palestina-Israel secara tuntas dan komprehensif. Koalisi ini berbeda dengan koalisi bentukan AS.

Pertama, koalisi ini benar-benar dibentuk secara multilateral tanpa melihat agama, kepentingan politik, maupun ideologi. Dasar pembentukannya adalah penyelamatan kemanusiaan.

Kedua, harus dipastikan tidak ada negara yang mendominasi koalisi ini. Ini untuk membedakan COW yang terlihat multilateral, tetapi ditentukan secara unilateral oleh AS.

Terakhir, Koalisi Penyelamat Kemanusiaan memiliki mandat yang tegas: memastikan Israel, bahkan elemen Hamas, menghentikan penggunaan kekerasan yang ilegal. Adapun COW tidak jelas mandatnya. Apakah untuk menurunkan Saddam Hussein, ataukah menghilangkan anasir-anasir teror, ataukah mendemokratisasi Irak?

Proposal pembentukan Koalisi Penyelamat Kemanusiaan penting dilakukan secara paralel dengan upaya diplomasi yang dipercayakan DK PBB kepada Mesir.

Seperti ketika Indonesia memperjuangkan kemerdekaan, upaya diplomasi semata tidaklah cukup. Penggunaan kekerasan perlu dilakukan untuk keberhasilan upaya diplomasi.

Pembentukan Koalisi Penyelamat Kemanusiaan yang beranggotakan pasukan/tentara resmi negara harus diinisiatifi oleh satu atau beberapa negara untuk kemudian diikuti negara lain.

Indonesia bisa mengambil inisiatif ini. Tekanan publik agar pemerintah berbuat lebih banyak untuk Gaza bisa menjadi satu alasan. Di samping itu, alasan hak asasi manusia dan solidaritas menjadi alasan lain. Indonesia dapat mengajak Malaysia, Perancis, bahkan Rusia dan Venezuela, sebagai koinisiator.

Pada tahap berikutnya, koalisi ini diharapkan dapat diikuti oleh negara-negara Timur Tengah serta beberapa negara di berbagai belahan dunia yang mengedepankan kemanusiaan.

Dengan adanya ide atau proposal semacam ini, diharapkan Israel, bahkan AS, akan berpikir dua kali untuk tidak mengindahkan suara dunia. Syukur apabila dalam tataran pemunculan ide, serangan segera berhenti. Energi, uang, dan nyawa pun tidak harus tersia-siakan.

Hikmahanto Juwana Guru Besar Hukum Internasional, FHUI (kompas.com)