KONFLIK RUSIA - UKRAINA DAN PRAGMATISME POLITIK

KONFLIK RUSIA - UKRAINA DAN PRAGMATISME POLITIK
Photo by Unsplash.com

Invasi terhadap sebuah negara tetap salah karena menyengsarakan warga sipil. Tapi melemahkan tetangga yang mau bersekutu dengan musuh adalah benar. Karena itu, sikap logis yang mesti diambil oleh negara-negara lain adalah abstain agar layak menganjurkan perundingan dan diterima sebagai juru damai. Ini bukan teori politik. Ini adalah aksioma akal sehat.

Sebaliknya sikap yang patut diambil oleh negara-negara lain terhadap invasi ke sebuah negara yang jauh dari teritori alias bukan tetangga yang menjadi ancaman, seperti Suriah, Irak, Afghanistan juga Yaman (sebagai sekutu negara tetangga yang merupakan agresor) adalah menentang, bahkan mengecamnya demi membela kedaulatan.

Prinsip logika yang sangat benderang kadang tak terlihat bila dilihat dengan kacamata pragmatisme politik atau pragmatisme ekonomi dengan dalih mengurangi tekanan luar karena mengutamakan pembangunan infrastruktur fisikal atas infrastruktur mental. Itulah sebabnya mengapa banyak negara yang punya sejarah panjang perlawanan terhadap penjajahan demi kemerdekaan dan kedaulatan tiba-tiba memilih sikap ambivalen atau bahkan memihak blok hegemoni.

Menurut Prof. Hikmahanto, mestinya Indonesia tidak menyetujui resolusi atas Rusia karena tidak semestinya bertindak sebagai hakim dan karena menganut politik bebas aktif.

Ternyata posisi ketua di forum internasional hanyalah simbolik dan tak menentukan, bahkan mungkin sengaja diberikan untuk mengikat sikap dan kebijakan negara yang diberi posisi itu.

Jangan lupa! Dukungan politik itu kontekstual dan rasional serta dinamis, bukan doktrinal, mutlak dan permanen. Bila tak sepakat terkait sebuah kebijakan dan sikap resmi terkait konflik militer karena dianggap memihak salah satu pihak, tak perlu maksa diri memberi justifikasi.

Read more