KUDETA GENESIS (Bagian 3)

KUDETA GENESIS (Bagian 3)
Photo by Unsplash.com

Ternyata kaum saintis tak sepenuhnya berpikir sebagai saintis. Sebagian dari mereka bertindak sebagai kapitalis dan politisi. Saintisme menciptakan teori-teori. Kapitalitisme mengolah teori menjadi sarana dan alat produksi (tekonologi). Imperialisme menggunakannya sebagai sarana dominasi.

Teknologi dan industri membelah dunia ke dalam dua bagian, dunia maju dan dunia terkebelakang. Nuklir lalu internet kemudian bioinformatika menghadirkan kehidupan baru dengan perilaku baru dalam “one culture” sebagai puncak supremasi sains.

Ada dua fakta; material atau fisikal dan fakta immaterial atau metafisikal. Fakta material adalah realitas komplek yang merupakan komponen potensi dan aktus berupa raga yang disebut materi (jism).

“Saya kemarin meyakini benda yang saya pegang ini adalah gelas. Hari ini saya meyakininya sebagai serpihan kaca (beling) adalah premis yang tidak salah bila;

Sesuatu yang disebut gelas itu adalah sebuah entitas fisikal (memiliki ukuran, kedalaman dan sifat-sifat atomik lainnya) pada fakta objektifnya

Gelas itu sejak semula berbahan kaca pada fakta objektifnya.

Esensi kegelasannya sirna karena mengalami transformasi atau perubahan bentuk akibat pecah pada fakta objektifnya.

Dengan kata lain; pernyataan kemarin berupa predikasi “adalah gelas” atas benda itu tidak bertentangan dengan pernyataan hari ini berupa predikasi “bukanlah gelas” atau “adalah serpihan kaca” atas benda itu tidaklah salah. Artinya, perubahan predikasi dalam contoh “gelas” secara saintifik justru valid.

Sains sebagai konsep yang disusun dari fakta material yang dinamis tidak akan menghadirkan fakta yang statis dan permanen kecuali bila diabstraksi ke bilangan tak berhingga (matematika) yang merupakan fakta-fakta abstrak. Namun bila matematika diperlakukan sebagai ilmu rasional murni dan dipisahkan dari sains, maka sains tidak punya dasar validitas sendiri.

Sains adalah premis-premis tidak permanen karena objeknya adalah fakta sensual dan terikat oleh “waktu” empiris nya. Upaya memberikan nilai valid dengan probilitas kalkulus atas pengetahuan saintifik hanya menghasilkan validitas general, bukan kebenaran universal yang permanen. Dengan kata lain, nilai-nilai general yang diperoleh sains, tak berpijak pada sains itu sendiri (karena itu paradoks siklus), tapi berpijak pada probabilitas kalkulus, yang tak lain adalah metematika sebagai aksioma non empiris.

Perlu diketahui, sains memerlukan dua postulat non saintifik yang abstrak, yaitu:

1. Matematika adalah pijakan sains.

2. Kebenaran saintifik adalah produk kebenaran matematik.

Sains tidak bisa menghasilkan premis-premis permanen (dulu disebut eksakta) karena objeknya hanya fakta-fakta dinamis kecuali bila diabstraksi dengan angka yang merupakan fakta abstrak yang tak berhingga.

Eksistensi, Tuhan, agama dan mazhab juga nilai-nilai kualitatif bukanlah realitas material yang dinamis namun statis. Karena statis, fakta objektifnya tak berubah. Karena tak berubah, citranya dalam benak pun tidak berubah.

Karena dasar epistemologi sains dan agama berbeda, maka fakta yang dipersepsinya pun berlainan. Karena keduanya mempunyai dua fakta objektif berbeda, tak perlu menilai agama dengan sains, dan sebaliknya, juga tak perlu melakukan pengagamaan sains dan tak perlu melakukan saintifikasi agama.

Dengan kata lain yang lebih eksplisit, pendukung saintisme tak perlu nyinyir soal Tuhan, agama dan tema-tema non saintifik. Kaum dogmatis juga tak perlu menjustifikasi teks-teks agama dengan sains karena itu justru mengisyaratkan kegamangan di balik klaim kebenaran mutlak mereka.

Bersambung...

Read more