Skip to main content

KULTUS

By September 15, 2016No Comments

Sebelum berangkat kerja, saya selalu menyempatkan diri untuk melihat beberapa channel satelit Timur Tengah, terutama negara-negara Arab di kawasan Teluk Persia. Biasanya, jam itu bertetapan dengan waktu menjelang subuh disana.
Setelah azan, tiba giliran berita pagi. Nah inilah yang rada mengusik dan menjadi inspirasi penulisan renungan ini. Sebagaimana diketahui, di negara-negara Teluk Persia itu, wahabisme merupakan ideologi negara, paling tidak, demikian yang terdengar. Wahabisme, sebagaimana kita ketahui dari karya-karya Muhammad bin Abdulwahhab dan Ibnu Taymiyah, menolak shalawat dengan asesoris “sayidina” dan kalimat-kalimat pujian kepada Nabi dan keluarganya, yang dianggapnya sebagai syirik, pemujaan yang berlebihan. Karena itu, upacara maulid dan ziarah makam beliau sebagai bid’ah.
Tapi, sikap anti pemujaan yang digembor-gemborkan oleh gerombolan “mazhab horor” ini tidak tercermin dalam televisi mereka, terutama saat berita seputar raja, emir dan keluarganya. Pembaca berita harus menunjukkan sikap penghambaan, mana kala menyebut sederet pujian dan pujaan sebelum menyebut namanya, seperti Sumuw al-amir (Paduka Pangeran), jalalah al-malik (Yang Dipertuan Agung Raja), ma’ali wali al-ahd (Junjungan Putra Mahkota) dan serumpunnya, lalu diakhiri dengan kata doa “hafidhahullah” (semoga Allah melindunginya).
Saya bertanya-tanya, benarkah “kultus” (menyanjung) secara general dan mutlak dilarang? Logiskah memperlakukan orang yang baik sama dengan orang yang jahat?
Ternyata dalam al-Qur’an terdapat sejumlah “ayat diskriminasi”. Ini bukan modus liberalisasi teks suci. Artinya, Allah Swt secara terangan-terangan mengutamakan sekelompok manusia dari yang lain. Tentu bukan didasarkan pada orang atau alasan-alasan determinan, melainkan berdasarkan standar-standar rasional.
Di sisi lain, memperlakukan semua orang secara sama, bukanlah keadilan, malah merupakan kezaliman. Karena itu sama dengan tidak meletakkan sesuatu pada tempatnya.
Samakah orang yang berjuang, mengeluarkan pikiran, tenaga, waktu dan harta demi kebaikan banyak orang dengan orang yang hanya menjadi sekadar “ warga negara yang baik”. Tentu tidak. Allah menegaskan, “Tidaklah sama antara Mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar” (QS. An-Nisa’ 95)
Para abdi masyarakat, seperti polisi yang rela diguyur hujan atau disiram terik matahari demi mengatur lalu lintas atau bahkan petugas kebersihan yang rela menyapu jalan dan mengangkut sampah-sampah adalah “mujahidin” yang layak diperlakukan beda.
Selain itu, yang berhak mendapatkan perlakuan diskriminatif adalah orang yang fasik, orang yang, karena meragukan akhirat, melakukan korupsi dan memanfaatkan kepercayaan publik sebagai cara untuk menjadi kaya raya. Orang demikian, selain tidak berhak dihormati mesti dipermalukan. “Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasik? Mereka tidak sama.”(Q. al-Sajdah 18). Iman adalah buah dari pengetahuan yang benar akan Sebab Pengada alam semesta dan kepastian hari akhir. Iman yang disandang seseorang adalah alasan rasional untuk dipuja dan diidolakan, bahkan dikultuskan (meski istilah “kultus” kian kabur).
Pengetahuan benar, yang merupakan sumber iman atau keyakinan yang benar, juga merupakan sebuah prestasi yang layak diapresiasi dan tidak boleh sama sekali dianggap sama dengan yang tidak berpretasi. “Apakah (tidaklah) sama orang yang mengetahui dengan orang yang tidakj mengetahui.” (QS. Az-Zumar).
Firman-firman Allah diatas dapat dianggap sebagai afirmasi tentang perlunya menjaga keseimbangan antara kultus dan diskriminasi, antara pemujaan dan penistaan dengan tolok ukur kerja keras (jihad), iman dan pengetahuan. Pengistimewaan menjadi sah dan perlu, demikian pula diskriminasi . Islam yang rasional meletakkan segala sesuatu secara proporsional.
Menurut Islam, kelas tidak mutlak dihapus. Namun ia menghapus kelas-kelas sosial berdasarkan kekayaan, raga, rupa dan simbol-simbol semu lainnya. Perbedaan pelakuan dan tingkat pernghormatan harus tetap ada agar yang tidak berprestasi dan yang berbuat zalim tidak mearasa benar.
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Islam mengabadikan hak dan prestasi orang-orang yang memang layak untuk dipanggil “Yang Mulia”. (QS al-Hujurat :13).